Senin, 15 Juli 2013
DIVIDEN
1. PENGERTIAN
DIVIDEN
Dividen berasal dari bahasa Latin yaitu
divendium yang artinya sesuatu untuk dibagi. Berikut ini beberapa
pemaparan mengenai pengertian dividen:
1. Berdasarkan
Kamus Bahasa Indonesia dividen diartikan sejumlah uang sebagai hasil keuntungan
yang dibayarkan kepada pemegang saham (dalam suatu Perseroan).
2. Dalam
dunia ekonomi dividen adalah seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan
untuk cadangan pajak yang dibagikan kepada pemegang saham (pemilik modal sendiri)
kecuali ditentukan lain dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
3. Menurut
Bapepam dividen adalah porsi keuntungan perusahaan yang dibayarkan kepada para
pemegang saham.
4. Menurut
Darmaji dan Fakhrudin (2001: 9) dividen adalah pembagian keuntungan yang
dihasilkan perusahaan dan tersedia bagi pemegang saham.
5. Menurut
Husnan dan Pudjiastuti dividen adalah laba yang diperoleh oleh perusahaan dan
tersedia bagi pemegang saham.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
diartikan bahwa dividen adalah laba yang diperoleh perusahaan untuk dibagikan
kepada pemegang saham.
2.
PENGERTIAN
KEBIJAKAN DEVIDEN
Salah satu kebijakan deviden yang harus
diambil oleh manajemen adalah laba yang diperoleh oleh perusahaan selama satu
periode akan dibagi sebagian untuk deviden dan sebagian lagi di bagi dalam laba
ditahan.
Kebijakan deviden merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahan dengan keputusan pendanaan perusahaan. Secara definisi
Kebijakan Deviden adalah kebijakan untuk menentukan berapa laba yang harus
dibayarkan ( deviden ) kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus
ditanam kembali ( laba ditahan ).Deviden adalah pendapatan bagi pemegang saham
yang dibayarkan setiap akhir periode sesuai dengan persentasenya. Persentase
dari laba yang akan dibagikan sebagai deviden kepada pemegang saham disebut
sebagai Deviden Payout Ratio (DPR).
Bambang Riyanto (2001: 281)
mendefinisikan kebijakan dividen sebagai “politik yang bersangkutan dengan
penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan
untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk
digunakan di dalam perusahaan (laba ditahan).
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:
390) kebijakan dividen adalah rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat
keputusan dividen.
Menurut Wetson dan Brigham (1990: 198)
kebijakan dividen adalah keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna
diinvestasikan kembali di dalam perusahaan.
Menurut Suad Husnan, kebijakan dividen
dapat diartikan:
1) Apakah laba yang
diperoleh seharusnya dibagikan atau tidak.
2) Apakah
laba dibagikan dengan konsekuensi harus mengeluarkan saham baru.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan dividen adalah kebijakan pembagian pendapatan yang
harus diikuti dalam membuat keputusan dividen (dibagikan/ditahan).
Menurut Lukas Setia Atmaja (2003: 285)
rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut sebagai Dividend Payout
Rasio (DPR), yang persamaannya adalah DPR = Total Dividend/ Net Income.
Karena kelebihan laba bersih di atas dividen itu menjadi laba ditahan maka
keputusan DPR inclusive keputusan mengenai laba ditahan. Sepintas, para
pemegang saham akan merasa senang apabila bagian dari laba bersih yang
dibagikan sebagai dividen ini semakin besar. Akan tetapi, apabila DPR ini
semakin besar, berarti laba ditahan semakin menciut, padahal pendanaan dengan
menggunakan laba ditahan (internal financing) ini mempunyai cost of capital
yang paling kecil dibandingkan dengan metode pendanaan lainnya. Dengan demikian
keputusan dividen akan mengacu pada suatu kebijakan (dividend policy)
yang optimal, terutama disesuaikan dengan konsep tujuan memaksimumkan nilai
perusahaan.
3.
FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DEVIDEN
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya deviden yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham
antara lain :
3.1. Posisi likuiditas Perusahaan
Likuiditas perusahaan sangat besar
pengaruhnya terhadap investasi perusahaan dan kebijakan pemenuhan kebutuhan
dana. Deviden bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi
kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan, akan semakin besar kemampuan
perusahaan untuk membayar deviden.
3.2.Kebutuhan Dana Untuk Membayar
Hutang
Apabila perusahaan mengambil hutang
untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan yang lain,
perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan, yaitu perusahaan membiayai hutang
itu pada saat jatuh tempo atau menggantikan dengan jenis surat berharga yang
lain. Jika keputusannya membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk
menahan laba.
3.3. Tingkat Ekspansi Aktiva
Semakin cepat suatu perusahaan berkembang,
semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi aktivanya, perusahaan
cenderung untuk menahan laba daripada membayarkannya dalam bentuk deviden.
3.4. Stabilitas Laba
Suatu perusahaan yang mempunyai laba
stabil sering kali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan
datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan “DPR” yang
tinggi, daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Deviden yang lebih
rendah akan mebih mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan
datang.
4.1. dividen irrelevance Theory (Dividen Tidak Relevan)
Beberapa kalangan berpendapat bahwa
kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan
maupun terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan.
Pendukung dari tidak relevannya
kebijakan dividen adalah Modigliani-Miller (MM). Mereka berpendapat bahwa
bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak mempengaruhi harga saham maupun
kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut MM berpendapat bahwa nilai perusahaan
ditentukan oleh earning power dan asset perusahaan tersebut.
Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi. Sementara
itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen
atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
MM
menyatakan bahwa dividen tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
1.
Pasar
modal sempurna, di mana para investor mempunyai kesamaan informasi, tidak ada
biaya transaksi dan tidak ada pajak.
2.
Para
investor bersifat rasional.
3.
Semua
peserta pasar bersifat price-taker.
4.
Adanya
unsur ketidakpastian bagi arus pendapatan masa datang dan para investor
mempunyai informasi yang sama.
5.
Manajer
dalam pengambilan keputusannya mengenai produksi dan investasinya disesuaikan
dengan informasi tersebut.
6.
Untuk
memisahkan pengaruh dividen dan pengaruh leverage, maka semua perusahaan
dianggap memiliki rasio D/S sama.
7.
Perusahaan-perusahaan
semestinya memiliki kelas risiko yang sama.
4.2.
Teori Bird in The Hand
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon
(1959) dan John Lintner (1956) yang berpendapat bahwa ekuitas atau nilai
perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan, karena para
investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain)
yang dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para investor
menerima dividen. Gordon dan Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor
jauh lebih menghargai pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada
pendapatan yang diharapkan dari keuntungan modal.
MM dalam hal ini tidak setuju bahwa
ekuitas atau nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan dividen, yang
menyiratkan bahwa investor tidak peduli antara dividen dengan keuntungan modal.
MM menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan bird-in-the-hand,
yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor memandang satu burung di
tangan lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Dengan demikian,
perusahaan yang mempunyai dividend payout ratio yang tinggi akan
mempunyai nilai perusahaan yang tinggi pula.
Namun menurut pandangan MM, kebanyakan
investor merencanakan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka dalam saham
dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus,
tingkat risiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam jangka panjang
hanya ditentukan oleh tingkat risiko arus kas operasinya, bukan oleh kebijakan
pembagian dividen.
4.3.Teori Preferensi Pajak
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan
pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai pembagian dividen
yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
1. Keuntungan
modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk
itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka
perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan
laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal
yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.
2. Pajak
atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai
waktu.
3. Jika
selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak
ada pajak keuntungan modal yang terutang.
Karena adanya keuntungan-keuntungan
pajak ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan menahan sebagian besar
laba perusahaan. Jika demikia para investor akan mau membayar lebih tinggi
untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk perusahaan
sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
5.Jenis-jenis Dividen
Menurut Zaki Baridwan
(1993) deviden yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam beberapa
jenis, yaitu:
5.1 Dividen tunai (cash
dividen),
yaitu dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan dikenai pajak
pada tahun pengeluarannya. Dividen ini yang paling umum dan banyak digunakan
dalam pembagian saham.
5.2.Dividen saham (stock dividen),
yaitu dividen yang
dibagikan perusahaan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham perusahaan
sehingga jumlah saham perusahaan menjadi bertambah. Jadi, pemberian stock
dividen ini dilakukan dengan cara mengubah sebagian laba ditahan (retained
earnings) menjadi modal saham yang pada dasarnya tidak mengubah jumlah
modal sendiri. Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu
karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang tunai. Peristiwa ini dilakukan
jika posisi kas perusahaan atau likuiditas diperlukan oleh perusahaan.
Investor dalam hal ini akan memiliki lebih banyak saham tetapi laba per lembar
saham lebih rendah. Proporsi pemilikan investor tidak mengalami perubahan.
Contoh:
Beta mempunyai struktur modal sebagai
berikut (sebelum penerbitan dividen saham).
Saham biasa (Rp. 5.000,- nominal,
400.000 lembar) = Rp. 2 miliar
Agio saham
= Rp. 1 miliar
Laba saham
= Rp. 7 miliar
Modal sendiri bersih
= Rp. 10 miliar
Perusahaan Beta membayar dividen saham
5% atau sebanyak 20.000 lembar (5% x 400.000 lembar).
Nilai pasar saham Rp. 40.000 setiap
pemegang saham 20 lembar saham menerima 1 lembar dividen saham:
Saham biasa (Rp. 5.000 nominal, 420.000
lembar) = Rp. 2,1 miliar
Agio
saham
= Rp. 1,7 miliar
Laba
ditahan
= Rp. 6,2 miliar
Modal sendiri
= Rp. 10 miliar
Keterangan :
1.
Laba
ditahan berkurang Rp. 800 juta, yaitu dividen saham 20.000 lembar x harga pasar
Rp. 40.000.
2.
Saham
biasa ditambah Rp. 100 juta, yaitu 20.000 lembar saham baru x nilai nominal
saham biasa Rp. 5.000,-
3.
Agio
saham bertambah Rp. 700 juta, yaitu 20.000 lembar saham baru x (Rp. 40.000 -
Rp. 5.000) atau saham pasar - harga nominal.
4.
Jika
laba setelah pajak Rp. 1 miliar. EPS (Earning Per Share) = Rp. 2.500 (1
miliar/40.000). Setelah dividen saham menurun menjadi Rp. 2.380.
5.
(Rp
1 miliar/420.000 lembar saham),
5.3.
Dividen saham pecahan (stock split),
yaitu pemecahan
selembar saham menjadi n lembar saham. Harga per lembar saham baru
setelah stock split adalah sebesar 1/n dari harga sebelumnya. Dengan
demikian, sebenarnya stock split tidak menambah nilai dari perusahaan
atau dengan kata lain stock split tidak mempunyai nilai ekonomis.
Melakukan pemecahan dalam hal, yaitu menambah jumlah saham dengan cara melalui
pengurangan nilai nominalnya. Pada contoh di atas, jumlah lembar saham 400.000
lembar saham menjadi 2 x 400.000 lembar = 800.000 lembar. Harga nominal saham
menjadi Rp. 2.500 (Rp. 5.000/2).
Dengan demikian struktur modal tidak
berubah, dan nilai jual saham biasa, agio, dan laba tidak mengalami perubahan.
Tetapi harga nominal dan lembar saham berubah proporsional.
Tujuan dari stock
split:
ü Menurunkan
harga saham, sehingga menarik pembeli/investor.
ü Diharapkan
harga akan meningkat.
u. Menguntungkan bagi investor, jika
dividen yang dibayar lebih besar, misalnya sebelum dipecahkan membayar dividen
Rp. 2.000 per lembar. Setelah dipecahkan hanya membayar dividen Rp. 1.250 per
lembar, maka investor akan menerima dividen Rp. 2.500 dengan nilai penyertaan
yang sama besarnya.
5.4.
Dividen scrip, yaitu
dalam bentuk perjanjian tertulis untuk membayar dalam jumlah tertentu pada
waktu yang disepakati.
5.5.
Dividen property (property dividen),
yaitu dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva lain selain kas atau saham,
misalnya aktiva tetap dan surat-surat berharga.
5.6. Dividen likuidasi (liquidating
dividen), yaitu dividen yang diberikan kepada
pemegang saham sebagai akibat dilikuidasikannya perusahaan. Dividen diperoleh
dari selisih antara nilai realisasi aset perusahaan dikurangi dengan semua
kewajibannya.
6. Bentuk-Bentuk Kebijakan
Deviden
6.1. Kebijakan
dividen yang stabil (stable dividend-per-share policy),
yakni jumlah pembayaran dividen itu
sama besarnya dari tahun ke tahun. Salah satu alasan mengapa suatu perusahaan
itu menjalankan kebijakan dividen yang stabil adalah untuk memelihara kesan
para investor terhadap perusahaan tersebut, sebab apabila suatu perusahaan
menerapkan kebijakan dividen yang stabil berarti perusahaan tersebut yakin
bahwa pendapatan bersihnya juga stabil dari tahun ke tahun. Meskipun perusahaan
mengalami kerugian,
6.2 Kebijakan dividend payout ratio yang
tetap (constant dividend payout ratio policy).
Dalam hal ini,
jumlah dividen akan berubah-ubah sesuai dengan jumlah laba bersih, tetapi rasio
antara dividen dan laba ditahan adalah tetap. Deviden yang dibayar
berfluktuasi tergantung besarnya keuntungan bagi pemegang saham. Misalnya DPO
60% dari keuntungan. Jika keuntungan Rp 1 miliar, maka deviden yang dibayarkan
sebesar 60% x Rp 1 Milyar = Rp 600 juta.
6.3. Kebijakan kompromi (compromise
policy),
yakni suatu kebijakan
dividen yang terletak antara kebijakan per saham yang stabil dan kebijakan dividend
payout ratio yang konstan ditambah dengan persentasi tertentu pada
tahun-tahun yang mampu menghasilkan laba bersiih yang tinggi.
7.4. Kebijakan dividen residual (residual-dividend
policy).
Apabila suatu
perusahaan menghadapi suatu kesempatan investasi yang tidak stabil maka
manajemen menghendaki agar dividen hanya dibayar ketika laba bersih itu bers