Kamis, 27 Juni 2013
STRATEGI PEMASARAN
Strategi Pemasaran
Menurut Armstrong dan Kotler (2000:5), marketing adalah “A societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering and freely exchanging products and services of value with others”.
Sedangkan pengertian Marketing strategy menurut Armstrong dan Kotler (2000:37), yaitu “The marketing logic by which the business unit hopes to achieve its marketing objective”.
Menurut Guiltinan dan Paul (1992), definisi strategi pemasaran adalah pernyataan pokok
tentang dampak yang diharapkan akan dicapai dalam hal permintaan pada target pasar yang ditentukan.
Segmentasi (Segmentation)
Menurut Solomon dan Elnora (2003:221), segmentasi adalah ”The process of dividing a larger market into smaller pieces based on one or more meaningful, shared characteristic”. Dengan melaksanakan segmentasi pasar, kegiatan pemasaran dapat dilakukan lebih terarah dan sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien dalam rangka memberikan Kepuasan bagi konsumen Selain itu perusahaan dapat melakukan program-program pemasaran yang terpisah untuk memenuhi kebutuhan khas masing-masing segmen.
Ada beberapa variabel segmentasi yaitu:
1. Demografis
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan variabel demografis sepert: Usia, jenis kelamin, besarnya keluarga, pendapatan, ras, pendidikan, pekerjaan, geografis.
2. Psikografis
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok yang berlainan menurut kelas sosial, gaya hidup, kepribadian, dan lain-lain. Informasi demografis sangat berguna, tetapi tidak selalu menyediakan informasi yang cukup untuk membagi konsumen ke dalam segmen-segmen, sehingga diperlukan segmen berdasarkan psychografis untuk lebih memahami karakteristik konsumen.
3. Perilaku
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi konsumen ke dalam segmen-segmen berdasarkan bagaimana tingkah laku, perasaan, dan cara konsumen menggunakan barang/situasi pemakaian, dan loyalitas merek. Cara untuk membuat segmen ini yaitu dengan membagi pasar ke dalam pengguna dan non-pengguna produk.
Agar segmen pasar dapat bermanfaat maka harus memenuhi beberapa karakteristik:
• Measurable : Ukuran, daya beli, dan profil segmen harus dapat diukur meskipun ada beberapa variabel yang sulit diukur.
• Accessible : Segmen pasar harus dapat dijangkau dan dilayani secara efektif.
• Substantial : Segmen pasar harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani
• Differentiable : Segmen-segmen dapat dipisahkan secara konseptual dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap elemen-elemen dan bauran pemasaran yang berbeda.
• Actionable : Program yang efektif dapat dibuat untuk menarik dan melayani segmen-segmen yang bersangkutan.Langkah dalam mengembangkan segmentasi yaitu:
1. Mensegmen pasar menggunakan variabel-variabel permintaan, seperti kebutuhan konsumen, manfaat yang dicari, dan situasi pemakaian.
2. Mendeskripsikan segmen pasar yang diidentifikasikan dengan menggunakan variabel-variabel yang dapat membantu perusahaan memahami cara melayani kebutuhan konsumen tersebut dan cara berkomunikasi dengan konsumen.
Targeting
Menurut Solomon dan Elnora (2003:232), Target market ialah ”Group that a firm selects to turn into customers as a result of segmentation and targeting”.
Setelah pasar dibagi-bagi dalam segmen-segmen, maka perusahaan harus memutuskan suatu strategi target market.
Perusahaan dapat memilih dari empat strategi peliputan pasar:
1. Undifferentiated targeting strategy, strategi ini menganggap suatu pasar sebagai satu pasar besar dengan kebutuhan yang serupa, sehingga hanya ada satu bauran pemasaran yang digunakan untuk melayani semua pasar.
Perusahaan mengandalkan produksi, distribusi, dan periklanan massa guna menciptakan citra superior di mata sebagian besar konsumen.
2. Differentiated targeting strategy, perusahaan menghasilkan beberapa produk yang memiliki karakteritik yang berbeda. Konsumen membutuhkan variasi dan perubahan sehingga perusahaan berusaha untuk menawarkan berbagai macam produk yang bisa memenuhi variasi kebutuhan tersebut.
3. Concentrated targeting strategy, perusahaan lebih memfokuskan menawarkan beberapa produk pada satu segmen yang dianggap paling potensial.
4. Custom targeting strategy, lebih mengarah kepada pendekatan terhadap konsumen secara individual.
Langkah dalam mengembangkan targeting yaitu:
1. Mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dengan menggunakan variable-variabel yang dapat mengkuantifikasi kemungkinan permintaan dari setiap segmen, biaya melayani setiap segmen, dan kesesuaian antara kompetensi inti perusahaan dan peluang pasar sasaran.
2. Memilih satu atau lebih segmen sasaran yang ingin dilayani berdasarkan potensi laba segmen tersebut dan kesesuaiannya dengan strategi korporat perusahaan.
Positioning
Menurut Solomon, dan Elnora (2003:235), Positioning ialah “Developing a marketing strategy aimed at influencing how a particular market segment perceives a good or service in comparison to the competition”. Penentuan posisi pasar menunjukkan bagaimana suatu produk dapat dibedakan dari para pesaingnya.
Ada beberapa positioning yang dapat dilakukan:
a. Positioning berdasarkan perbedaan produk.
Pendekatan ini dapat dilakukan jika produk suatu perusahaan mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan pesaing dan konsumen harus merasakan benar adanya perbedaan dan manfaatnya.
b. Positioning berdasarkan atribut produk atau keuntungan dari produk tersebut.
Pendekatan ini berusaha mengidentifikasikan atribut apa yang dimiliki suatu produk dan manfaat yang dirasakan oleh kosumen atas produk tersebut.
c. Positioning berdasarkan pengguna produk.
Pendekatan ini hampir sama dengan targeting dimana lebih menekankan pada siapa pengguna produk.
d. Positioning berdasarkan pemakaian produk.
Pendekatan ini digunakan dengan membedakan pada saat apa produk tersebut
dikonsumsi.
e. Positioning berdasarkan pesaing.
Pendekatan ini digunakan dengan membandingkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh pesaing sehingga konsumen dapat memilih produk mana yang lebih baik.
f. Positioning berdasarkan kategori produk.
Pendekatan ini digunakan untuk bersaing secara langsung dalam kategori produk, terutama ditujukan untuk pemecahan masalah yang sering dihadapi oleh pelanggan.
g. Positioning berdasarkan asosiasi.
Pendekatan ini mengasosiasikan produk yang dihasilkan dengan asosiasi yang dimiliki oleh produk lain. Harapannya adalah sebagian asosiasi tersebut dapat memberikan kesan positif terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan.
h. Positioning berdasarkan masalah.
Pendekatan ini digunakan untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa produk yang ditawarkan memiliki positioning untuk dapat memecahkan masalah.
Langkah dalam mengembangkan strategi positioning yaitu:
1. Mengidentifikasi Keunggulan Kompetitif. Jika perusahaan dapat menentukan posisinya sendiri sebagai yang memberikan nilai superior kepada sasaran terpilih, maka ia memperoleh keunggulan komparatif.
2. Dalam menawarkan produk dengan suatu competitive advantage, perusahaan harus meyediakan suatu alasan mengapa pelanggan akan merasa bahwa produk dari perusahaan yang bersangkutan lebih baik daripada para pesaingnya.
3. Perusahaan harus mengevaluasi respon dari target market sehingga dapat memodifikasi strategi bila dibutuhkan
readmore »»
Menurut Armstrong dan Kotler (2000:5), marketing adalah “A societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering and freely exchanging products and services of value with others”.
Sedangkan pengertian Marketing strategy menurut Armstrong dan Kotler (2000:37), yaitu “The marketing logic by which the business unit hopes to achieve its marketing objective”.
Menurut Guiltinan dan Paul (1992), definisi strategi pemasaran adalah pernyataan pokok
tentang dampak yang diharapkan akan dicapai dalam hal permintaan pada target pasar yang ditentukan.
Segmentasi (Segmentation)
Menurut Solomon dan Elnora (2003:221), segmentasi adalah ”The process of dividing a larger market into smaller pieces based on one or more meaningful, shared characteristic”. Dengan melaksanakan segmentasi pasar, kegiatan pemasaran dapat dilakukan lebih terarah dan sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien dalam rangka memberikan Kepuasan bagi konsumen Selain itu perusahaan dapat melakukan program-program pemasaran yang terpisah untuk memenuhi kebutuhan khas masing-masing segmen.
Ada beberapa variabel segmentasi yaitu:
1. Demografis
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan variabel demografis sepert: Usia, jenis kelamin, besarnya keluarga, pendapatan, ras, pendidikan, pekerjaan, geografis.
2. Psikografis
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok yang berlainan menurut kelas sosial, gaya hidup, kepribadian, dan lain-lain. Informasi demografis sangat berguna, tetapi tidak selalu menyediakan informasi yang cukup untuk membagi konsumen ke dalam segmen-segmen, sehingga diperlukan segmen berdasarkan psychografis untuk lebih memahami karakteristik konsumen.
3. Perilaku
Segmentasi ini dilakukan dengan membagi konsumen ke dalam segmen-segmen berdasarkan bagaimana tingkah laku, perasaan, dan cara konsumen menggunakan barang/situasi pemakaian, dan loyalitas merek. Cara untuk membuat segmen ini yaitu dengan membagi pasar ke dalam pengguna dan non-pengguna produk.
Agar segmen pasar dapat bermanfaat maka harus memenuhi beberapa karakteristik:
• Measurable : Ukuran, daya beli, dan profil segmen harus dapat diukur meskipun ada beberapa variabel yang sulit diukur.
• Accessible : Segmen pasar harus dapat dijangkau dan dilayani secara efektif.
• Substantial : Segmen pasar harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani
• Differentiable : Segmen-segmen dapat dipisahkan secara konseptual dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap elemen-elemen dan bauran pemasaran yang berbeda.
• Actionable : Program yang efektif dapat dibuat untuk menarik dan melayani segmen-segmen yang bersangkutan.Langkah dalam mengembangkan segmentasi yaitu:
1. Mensegmen pasar menggunakan variabel-variabel permintaan, seperti kebutuhan konsumen, manfaat yang dicari, dan situasi pemakaian.
2. Mendeskripsikan segmen pasar yang diidentifikasikan dengan menggunakan variabel-variabel yang dapat membantu perusahaan memahami cara melayani kebutuhan konsumen tersebut dan cara berkomunikasi dengan konsumen.
Targeting
Menurut Solomon dan Elnora (2003:232), Target market ialah ”Group that a firm selects to turn into customers as a result of segmentation and targeting”.
Setelah pasar dibagi-bagi dalam segmen-segmen, maka perusahaan harus memutuskan suatu strategi target market.
Perusahaan dapat memilih dari empat strategi peliputan pasar:
1. Undifferentiated targeting strategy, strategi ini menganggap suatu pasar sebagai satu pasar besar dengan kebutuhan yang serupa, sehingga hanya ada satu bauran pemasaran yang digunakan untuk melayani semua pasar.
Perusahaan mengandalkan produksi, distribusi, dan periklanan massa guna menciptakan citra superior di mata sebagian besar konsumen.
2. Differentiated targeting strategy, perusahaan menghasilkan beberapa produk yang memiliki karakteritik yang berbeda. Konsumen membutuhkan variasi dan perubahan sehingga perusahaan berusaha untuk menawarkan berbagai macam produk yang bisa memenuhi variasi kebutuhan tersebut.
3. Concentrated targeting strategy, perusahaan lebih memfokuskan menawarkan beberapa produk pada satu segmen yang dianggap paling potensial.
4. Custom targeting strategy, lebih mengarah kepada pendekatan terhadap konsumen secara individual.
Langkah dalam mengembangkan targeting yaitu:
1. Mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dengan menggunakan variable-variabel yang dapat mengkuantifikasi kemungkinan permintaan dari setiap segmen, biaya melayani setiap segmen, dan kesesuaian antara kompetensi inti perusahaan dan peluang pasar sasaran.
2. Memilih satu atau lebih segmen sasaran yang ingin dilayani berdasarkan potensi laba segmen tersebut dan kesesuaiannya dengan strategi korporat perusahaan.
Positioning
Menurut Solomon, dan Elnora (2003:235), Positioning ialah “Developing a marketing strategy aimed at influencing how a particular market segment perceives a good or service in comparison to the competition”. Penentuan posisi pasar menunjukkan bagaimana suatu produk dapat dibedakan dari para pesaingnya.
Ada beberapa positioning yang dapat dilakukan:
a. Positioning berdasarkan perbedaan produk.
Pendekatan ini dapat dilakukan jika produk suatu perusahaan mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan pesaing dan konsumen harus merasakan benar adanya perbedaan dan manfaatnya.
b. Positioning berdasarkan atribut produk atau keuntungan dari produk tersebut.
Pendekatan ini berusaha mengidentifikasikan atribut apa yang dimiliki suatu produk dan manfaat yang dirasakan oleh kosumen atas produk tersebut.
c. Positioning berdasarkan pengguna produk.
Pendekatan ini hampir sama dengan targeting dimana lebih menekankan pada siapa pengguna produk.
d. Positioning berdasarkan pemakaian produk.
Pendekatan ini digunakan dengan membedakan pada saat apa produk tersebut
dikonsumsi.
e. Positioning berdasarkan pesaing.
Pendekatan ini digunakan dengan membandingkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh pesaing sehingga konsumen dapat memilih produk mana yang lebih baik.
f. Positioning berdasarkan kategori produk.
Pendekatan ini digunakan untuk bersaing secara langsung dalam kategori produk, terutama ditujukan untuk pemecahan masalah yang sering dihadapi oleh pelanggan.
g. Positioning berdasarkan asosiasi.
Pendekatan ini mengasosiasikan produk yang dihasilkan dengan asosiasi yang dimiliki oleh produk lain. Harapannya adalah sebagian asosiasi tersebut dapat memberikan kesan positif terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan.
h. Positioning berdasarkan masalah.
Pendekatan ini digunakan untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa produk yang ditawarkan memiliki positioning untuk dapat memecahkan masalah.
Langkah dalam mengembangkan strategi positioning yaitu:
1. Mengidentifikasi Keunggulan Kompetitif. Jika perusahaan dapat menentukan posisinya sendiri sebagai yang memberikan nilai superior kepada sasaran terpilih, maka ia memperoleh keunggulan komparatif.
2. Dalam menawarkan produk dengan suatu competitive advantage, perusahaan harus meyediakan suatu alasan mengapa pelanggan akan merasa bahwa produk dari perusahaan yang bersangkutan lebih baik daripada para pesaingnya.
3. Perusahaan harus mengevaluasi respon dari target market sehingga dapat memodifikasi strategi bila dibutuhkan
Rabu, 19 Juni 2013
METODELOGI PENELITIAN OBSERVASI
Observasi adalah
suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung
terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan
pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
Banyaknya periode observasi yang perlu dilakukan dan panjangnya waktu
pada setiap periode observasi tergantung kepada jenis data yang
dikumpulkan. Apabila observasi itu akan dilakukan pada sejumlah orang, dan hasil observasi itu akan digunakan untuk mengadakan perbandingan antar orang-orang tersebut, maka hendaknya observasi terhadap masing-masing orang dilakukan dalam situasi yang relatif sama.
Aspek tingka laku yang cocok dievaluasi dengan metode observasi
adalah tempramen, karakter, penyesuaian, sikap dan minat. Intelegensi,
bakat dan asil belajar dapat pula dievaluasi dengan metode observasi,
tetapi pelaksanaannya sangat sulit dan kurang efektif.
Dalam mengevaluasi penyesuaian sosial dapat dilakukan observasi tentang
al-al sebagai berikut : dalam situasi manakah siswa-siswa itu bermain
sendiri bersama dengan teman-temannya? Dalam bermain bersama apaka ia
sebagai pemimpin atau pengikut? Apaka ia bertengkar dengan siswa-siswa
lain? Dan sebagainya.
Untuk mengevaluasi penyesuaian personal dapat dilakukan observasi
terhadap hal-hal sebagai berikut : apakah siswa ini biasanya gugup?
Apakah ia pemarah? Dan sebagainya.
readmore »»
Sebelum observasi itu dilaksnanakan, pengobservasi
(observer) hendaknya telah menetapkan terlebih dahulu aspek-aspek
apayang akan diobservasi dari tingkah laku seseorang. Aspek-aspek
tersebut hendaknya telah dirumuskan secara operasional, sehingga tingkah
laku yang akan dicatat nanti dalam observasi hanyalah apa-apa yang
telah dirumuskan tersebut.
Klasifikasi tentang jenis-jenis observasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandangan antara lain :
a. Berdasarkan situasi yang diobservasi
- Observasi terhadap situasi bebas (free situasion), observasi yang dilakukan terhadap situasi yang terjadi secara wajar, tanpa adanya campur tangan dari pengobservasi. Misalnya observasi yang dilakukan terhadap siswa-siswa yang sedang bermain secara bebas.
- Observasi terhadap situasi yang dimanipulasikan (manipulated situasion), yaitu situasi yang telah dirancang oleh pengobservasi dengan menambahkan satu atau lebih variabel. Misalnya seorang pengobservasi ingin mengetahui sifat kepemimpinan sekelompok siswa.
- Observasi terhadap situasi yang setengah terkontrol (partially controlled), jenis observasi ini adalah merupakan kombinasi dari kedua jenis observasi situasi bebas dan situasi yang dimanipulasikan.
b. Berdasarkan keterlibatan pengobservasi
- Observasi partisipasi, yaitu apabila pengobservasi ikut terlibat dalam kegiatan subyek yang sedang diobservasi. Misalnya seorang guru bidang studi yang ingin mengetahui bagaimana antosias siswa-siswanya terhadap pelajaran yang diberikan.
- Observasi non partisipasi, dalam observasi ini pengobservasi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang diobservasi. Misalnya seorang petugas bimbingan ingin mengetahui bagaimana antosias siswa terhadap bimbingan karir.
- Observasi quasi partisipasi, dalam jenis ini sebagian waktu dalam satu periode observasi pengobservasi ikut melibatkan diri dalam kegiatan yang diobservasi, dan sebagian waktu lainnya ia terlepas dari kegiatan tersebut. Misalnya kita ingin mengetahui bagaimana aktifitas siswa dalam melaksanakan suatu tugas kelompok.
c. Berdasarkan pencatatan hasil-hasil observasi
- Observasi berstruktur, aspek-aspek tingkah laku yang akan diobservasi telah dimuat dalam suatu daftar yang telah disusun secara sistematis. Bentuk catatan yang sistematis yaitu : *daftar chek (chek list), adalah suatu daftar yang memuat catatan tentang sejumlah tingkah laku yang akan diobservasi. * skala bertingkat (rating scale), adalah gejala-gejala yang akan diobservasi itu didalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan. Kelemahan dari observasi berstruktur ini adalah bahwa pengobservasi sangat terikat dengan daftar yang telah tersusun sehingga ia tidak mungkin mengembangkan observasinya dengan aspek-aspek lain yang kebetulan terjadi selama observasi berlangsung. Untuk mengatasi kelemahan ini, dapat ditemouh dengan cara kombinasi, yaitu menggunakan suatu daftar yang terperinci tentang tingkah laku yang diobservasi, yang dilengkapi dengan blanko untuk mencatat tingkah laku tertentu yang muncul, yang belum terekam dalam daftar.
- Observasi tak berstruktur, dalam melaksanakan observasi ini pengobservasi tidak menyediakan daftar terlebih dahulu tentang aspek-aspek yang akan diobservasi. Dalam hal ini pengobservasi mencatat semua tingkah laku yang dianggap penting dalam suatu periode observasi.
Hasil-hasil observasi ini dicatat dalam bentuk catatan yang
bersifat anekdot (anecdotal record), yaitu suatu catatan (record)
tentang tingkah laku siswa dalam suatu situasi tertentu. Catatan yang
bersifat anekdot tersebut harus ditulis apa adanya, tanpa interpretasi.
Setelah terkumpul beberapa catatan dari beberapa periode observasi, maka
buatlah suatu ihtisar tentang catatan-catatan tersebut, kemudian
diadakan interpretasi tentang tingkah laku siswa tersebut.
Contoh catatan yang bersifat anekdot (anecdotal record) tentang seorang
siswa sebagai berikut :
- 12-8-1990 : sebelum bel berbunyi ketika anak-anak sedang bercakap-cakap dalam kelompok-kelompok kecil, B tinggal seorang diri.
- 17-8-1990 : B tidak ikut ambil bagian dalam diskusi yang diadakan oleh teman-temannya tentang apa yang akan dilihat di moseum.
- 23-8-1990 : B membuat karangan tentang kunjungan ke moseum, tapi kemudian ia merobek tulisannya dan melemparkannya ke keranjang sampah. Dan sebagainya. Ada beberapa kelemahan dalam penggunaan observasi dan anecdotal record, yaitu sebagai berikut:
- Karena adanya tugas-tugas lain sering guru-guru tidak mempunyai kesempatan untuk menuliskan hasil-hasil observasi yang telah dilakukan.
- Pencatatan hasil-hasil observasi dan penafsiran terhadap catatan-catatan observasi tersebut seringkali sangat subyektif.
3. Keuntungan dan Keterbatasan Observasi
a. Dengan observasi kita mengamati tingkah laku siswa dalam tingkah laku
siswa dalam kondisi wajar, sehingga tingkah laku yang kita amati adalah
tingkah laku yang muncul secara spontan. Jadi data yang kita peroleh
adalah bersifat alamiah (natural), tidak dibuat-buat.
b. Subyek yang diobservasi tidak merasa dibebani tugas tambahan. Ia
tetap pada kegiatan yang telah dilakukannya tanpa merasa terganggu.
Berbeda dengan interview atau kuesioner di mana subyek merasa di sita
waktu dan tenaganya untuk memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam interview atau kuisioner
tersebut.
Observasi tidak dilkaukan terhadap beberapa situasi atau
beberapa siswa dalam wktu yang sama. Apabila kita hendak mengobservasi
semua sisiwa yang kita asuh maka kita akan emerlukan waktu yang sangat
panjang.
Kelemahan dari observasi ialah bahwa penafsiran terhadap hasil-hasil
observasi sering bersiifat subyektif. Sikap dari pengobservasi, jarak
waktu yang panjang antara situasi-situasi tingka laku yang diobservasi,
serta obyektivitas dari pencatatan-pencatatan sangat mempengaruhi
validitas dari observasi.
Sehubunungan dengan kelemaan-kelemaan tersebut, ada beberapa ala yang
perlu diperatikan ole petugas observasi. Untuk mengatasi subyektivitas
terhadap hasil-asil observasi, hendaknya intrpretasi jangan dilkaukan
hanya terhadap satu kali observasi saja, sebaiknya interpretasi baru
dilakukan setela dilakukan setela dua atau tiga kali observasi.
4. Aspek-Aspek Tingkah Laku Yang Cocok Dievaluasi Dengan Metode Observasi
METODELOGI PENELITIAN 2
Metode
Observasi
Observasi
adalah kegiatan mengenali tingkahlaku individu, yang biasanya akan diakhiri
dengan mencatat hal-hal yang di pandang penting sebagai penunjang informasi
mengenai klien. Informasi yang diperoleh dari observasi adalah observasi situasi
sekarang (kini).
Pengertian
observasi/pengamatan menurut para tokoh
Menurut
Kartono (1980: 142) pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi
yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis
dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan
observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba
kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu”.
Observasi
dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diabdikan
pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2. Direncanakan
dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental)
saja.
3. Dicatat
secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan
tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4. Validitas,
reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah
lainnya (Jehoda, M. dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan
penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian
kualitatif tidak biasa digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk
menggantikan kedua istilah tersebut adalah kredibilitas.
Jenis-jenis Observasi
Berdasarkan pelaksanaan, observasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu observasi partisipasi dan observasi non partisipasi. a. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jadi, peneliti bertindak sebagai observer, artinya peneliti merupakan bagian dari kelompokyang ditelitinya. Keuntungan cara ini adalah peneliti merupakan bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya sehingga kehadirannya tidak memengaruhi situasi penelitian. Kelemahannya, yaitu ada kecenderungan peneliti terlampau terlibat dalam situasi itu sehingga proseduryang berikutnya tidak mudah dicek kebenarannya oleh peneliti lain.
b. Observasi non partisipasi
Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Cara ini banyak dilakukan pada saat ini. Kelemahan cara ini antara lain kehadiran pengamat dapat memengaruhi sikap dan perilaku orang yang diamatinya.
Instrumen yang Digunakan dalam Melakukan Observasi
Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating scale, anecdotal record, catatan berkala, dan mechanical device.
a. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati.
b. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala menurut tingkatan- tingkatannya.
c. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.
d. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden.
Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Observasi dalam Pengumpulan Data
a. Kelebihan observasi
Kelebihan dari observasi, antara lain:
1. Pengamat mempunyai kemungkinan untuk langsung mencatat hal-hal, perilaku pertumbuhan, dan sebagainya, sewaktu kejadian tersebut masih berlaku, atau sewaktu perilaku sedang terjadi sehingga pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.
2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek, baik dengan berkomunikasi verbal ataupun tidak, misalnya dalam melakukan penelitian. Sering subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena takut, tidak punya waktu atau enggan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung.
b. Kelemahan observasi
Kelemahan dari observasi, antara lain:
1. Memerlukan waktu yang relatif lama untuk memperoleh pengamatan langsung terhadap satu kejadian, misalnya adat penguburan suku Toraja dalam peristiwa ritual kematian, maka seorang peneliti harus menunggu adanya upacara adat tersebut.
2. Pengamat biasanya tidak dapat melakukan terhadap suatu fenomena yang berlangsung lama, contohnya kita ingin mengamati fenomena perubahan suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern akan sulit atau tidak mungkin dilakukan.
3. Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin diamati, misalnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti kita ingin mengetahui perilaku anak saat orang tua sedang bertengkar, kita tidak mungkin melakukan pengamatan langsung terhadap konflik keluarga tersebut karena kurang jelas.
5. Langkah-langkah dalam Observasi
Langkah-langkah dalam melakukan observasi adalah sebagai berikut.
a. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan.
b. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan diobservasi.
c. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.
d. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
e. Harus diketahui tentang cara mencatat hasi! observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.
Berdasarkan pelaksanaan, observasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu observasi partisipasi dan observasi non partisipasi. a. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jadi, peneliti bertindak sebagai observer, artinya peneliti merupakan bagian dari kelompokyang ditelitinya. Keuntungan cara ini adalah peneliti merupakan bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya sehingga kehadirannya tidak memengaruhi situasi penelitian. Kelemahannya, yaitu ada kecenderungan peneliti terlampau terlibat dalam situasi itu sehingga proseduryang berikutnya tidak mudah dicek kebenarannya oleh peneliti lain.
b. Observasi non partisipasi
Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Cara ini banyak dilakukan pada saat ini. Kelemahan cara ini antara lain kehadiran pengamat dapat memengaruhi sikap dan perilaku orang yang diamatinya.
Instrumen yang Digunakan dalam Melakukan Observasi
Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating scale, anecdotal record, catatan berkala, dan mechanical device.
a. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati.
b. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala menurut tingkatan- tingkatannya.
c. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.
d. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden.
Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Observasi dalam Pengumpulan Data
a. Kelebihan observasi
Kelebihan dari observasi, antara lain:
1. Pengamat mempunyai kemungkinan untuk langsung mencatat hal-hal, perilaku pertumbuhan, dan sebagainya, sewaktu kejadian tersebut masih berlaku, atau sewaktu perilaku sedang terjadi sehingga pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.
2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek, baik dengan berkomunikasi verbal ataupun tidak, misalnya dalam melakukan penelitian. Sering subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena takut, tidak punya waktu atau enggan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung.
b. Kelemahan observasi
Kelemahan dari observasi, antara lain:
1. Memerlukan waktu yang relatif lama untuk memperoleh pengamatan langsung terhadap satu kejadian, misalnya adat penguburan suku Toraja dalam peristiwa ritual kematian, maka seorang peneliti harus menunggu adanya upacara adat tersebut.
2. Pengamat biasanya tidak dapat melakukan terhadap suatu fenomena yang berlangsung lama, contohnya kita ingin mengamati fenomena perubahan suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern akan sulit atau tidak mungkin dilakukan.
3. Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin diamati, misalnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti kita ingin mengetahui perilaku anak saat orang tua sedang bertengkar, kita tidak mungkin melakukan pengamatan langsung terhadap konflik keluarga tersebut karena kurang jelas.
5. Langkah-langkah dalam Observasi
Langkah-langkah dalam melakukan observasi adalah sebagai berikut.
a. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan.
b. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan diobservasi.
c. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.
d. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
e. Harus diketahui tentang cara mencatat hasi! observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.
Poerwandari
tidak memberikan batasan tentang observasi tetapi memberikan penjelasan tentang
observasi sebagai berikut: “Observasi barangkali menjadi metode yang paling
dasar dan paling tua di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita
selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis,
baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya.
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan
“memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian
psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun
dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan
penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam konteks
eksperimental itu adalah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif.
Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah
(naturalistik).
Patton
(1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan
pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat,
observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah
melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapan yang
teliti dan lengkap.
Pokok
persoalan observasi
Menurut
Moleong tidak memberikan batasan tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa
pokok persoalan dalam membahas observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan
pengamatan, b) macam-macam pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong,
2001: 125).
a) .Manfaat Pengamatan
Menurut
Guba dan Lincoln (1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan
pengamatan (observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian
kualitatif, intinya karena:
1).Pengamatan merupakan pengalaman langsung, dan
pengalaman langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh
kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka peneliti
dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung untuk mengecek kebenaran
informasi tersebut.
2).Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang
sebenarnya.
3).Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat
peristiwa yang berkaitan dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan
yang diperoleh dari data.
4).Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti
terhadap informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran adanya bias
atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena responden kurang
mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis antara peneliti
dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan
tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan pengamatan.
5).Pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami
situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti
ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi pengamatan dapat
menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku
yang kompleks.
6).Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik
komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat
bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum bisa
berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu
ditekankan disini pengamatan dimaksudkan agar memungkinkan pengamat melihat
dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti, menangkap makna
fenomena dan budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti
merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan
dan dihayati oleh si peneliti. Jadi interpretasi peneliti harus berdasarkan
interpretasi subjek yang diteliti.
b). Macam Pengamat dan
Derajat Pengamat
Menurut
Moleong (2001: 126-127) pengamatan dapat dibedakan menjadi: a) pengamatan
berperan serta, b) pengamatan tidak berperan serta. Pengamatan juga dapat
diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan terbuka, apabila keberadaan pengamat
diketahui oleh subjek yang diteliti, dan subjek memberikan kesempatan kepada
pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya
orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan, b) pengamatan tertutup apabila
pengamat melakukan pengamatan tanpa diketahui oleh subjek yang diamati.
Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar
alamiah atau pengamatan tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau
pengamatan terstruktur. Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa
digunakan dalam penelitian kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau
pengamatan tidak terstruktur inilah yang biasa digunakan dalam penelitian
kualitatif.
Selanjutnya
Bunford Junker (dalam Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti sebagai
pengamat menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1).Berperan serta secara lengkap (the complete
participant). Pengamat dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu kelompok
yang diamati, artinya peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota
secara penuh dalam kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan demikian
peneliti dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang
rahasia.
2).Pemeran serta sebagai pengamat (the participant
as observer). Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati
(misalnya anggota kehormatan), tetapi masih dapat melakukan fungsi pengamatan.
Hal-hal rahasia masih dapat diketahui.
3).Pengamat sebagai pemeran serta (the observer as
participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala
macam informasi termasuk yang rahasia dapat dengan mudah diperoleh.
4).Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya
hal ini terjadi pada pengamatan suatu eksperimen dilaboratorium yang
menggunakan kaca sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara jelas
subjeknya dari belakang kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui
apakah mereka sedang diamati atau tidak.
Flick
(2002: 135) menjelaskan tentang observasi sebagai berikut: disamping kemampuan
berbicara dan mendengarkan sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara,
observasi merupakan keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis
disistematisir dan diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi
visual tetapi juga persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang
diintegrasikan. (“Besides the competencies of speaking and listening which are
used in interviews, observing is another everyday skill which is
methodologically systematized and applied in qualitative research. Not only
visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling are
integrated (Adler and Adler 1998)”).
Dengan
menyetujui pendapat Friedrichs (1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan
prosedur observasi secara umum diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi,
yaitu:
a).Observasi tertutup versus observasi terbuka:
seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi. (“Covert
versus overt observation: how far is the observation revealed to those who are
observed”).
b).Observasi tidak terlibat versus observasi terlibat:
seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari lapangan yang diamati.
(“Non-participant versus participant observation: how far does the observer
become an active part of the observed field”).
c).Observasi sistematis lawan observasi yang tidak
sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang terstandarisasikan
dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih fleksibel dan tanggap
terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic
observation: is a more or less standarized observation scheme applied or does
observation remain rather flexible and responsive to the processes
themselves”).
d).Observasi secara alamiah versus situasi-situasi
buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati atau apakah observasi
dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu tempat yang khusus
(misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi yang lebih baik.
(“Observation in natural versus artificial situations: are observation done in
the field of interest or are interactions ’moved’ to a special place (eq. a
laboratory) to give a better observability”).
e).Observasi diri versus mengobservasi orang-orang
lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak niat/atensi
peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk dijadikan dasar
selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang diobservasi.
(“Self-observation versus observing others: mostly other people are observed,
so how much attention is paid to the researcher’s reflexive self-observation
for futher grounding the interpretation of the observed”).
Mengenai
tahap-tahap observasi, penulis seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b
dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi
memiliki 7 (tujuh) tahap, yaitu:
a).Seleksi suatu latar (setting) yaitu dimana dan
kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu dapat diobservasi
(“The selection of a setting, i.e. where and when the interesting processes and
persons can be observed”).
b).Berikan definisi tentang apa yang dapat
didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition
of what is to be documented in the observation and in every case”).
c).Latihan untuk pengamat supaya ada standarisasi
misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The training of the
observers in order to standarized such focuses”).
d).Observasi deskriptif yang memberikan suatu
pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide an
initial general presentation of the field”).
e).Observasi terfokus yang semakin terkonsentrasi
pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused
observations which concentrate more and more on aspects that are relevant to
the research questions”).
f).Observasi selektif yang dimaksudkan untuk secara
sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are
intended to purposively grasp only central aspects”).
g).Akhir dari observasi apabila kepenuhan teori
telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak memberikan
pengetahuan lanjutan. (“The end of the observations, when theoretical
saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher
observations do not provide any futher knowledge”).
Kerlinger
(1986, terjemahan Simatupang 1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia
melakukan pengamatan sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan
lain-lain. Tetapi pengamatan seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat
dipergunakan untuk penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar
data hasil pengamatan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu
diterapkan prosedur pengukuran yaitu setiap perilaku diberi skor menurut aturan
tertentu, sehingga berdasarkan skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun
menurut Kerlinger hal tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan
perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku tersebut harus
dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku tersebut dapat dikenakan
prosedur pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk ilmu
pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan
harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi realistik dan
alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku sebagai yang muncul
dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam pelaksanaannya sangat sulit
dan rumit.
Sedang
Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam
pengetahuan ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta,
pengamatan merupakan teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian
ilmiah. Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan
sehari-hari, pengamatan sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya
syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang
sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian. Syarat-syarat tersebut
adalah peneliti harus berusaha membandingkan dengan hasil pengamatan orang lain
dalam masalah yang sama dan dalam keadaan yang sama, apabila ternyata
mendapatkan hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa kembali dimana
kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti dapat
mengulang pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan pertama.
Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena ada peristiwa yang hanya
sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati lagi. Catatan penulis: untuk
membandingkan hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain
adalah sangat sulit karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang
sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan
wajib penelitiannya dengan hasil pengamatan significant others yaitu individu
yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga
persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan
kenyataannya.
Menurut
Suparlan (1997: 103) metoda pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil
pengamatan biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala
tersebut. Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan
sementara pihak bahwa pengamatan dinilai bukan suatu metoda penelitian yang
ilmiah karena sederhana, tidak rumit teknik-tekniknya dan tidak susah memahami
dan menggunakannya. Padahal apabila digunakan sesuai persyaratannya akan
memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Suparlan
selanjutnya mengemukakan bahwa dalam penelitian ilmiah yang menggunakan metoda
pengamatan, si peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai
berikut:
a).Ruang atau tempat: setiap gejala (benda,
peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu. Bahkan
keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang menciptakan
suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu
mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b).Pelaku: pengamatan terhadap pelaku mencakup
ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang
berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c).Kegiatan: dalam ruang atau tempat tersebut para
pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu
tindakan-tindakan yang dilakukan, yang dapat mewujudkan adanya serangkaian
interaksi di antara sesama mereka.
d).Benda-benda atau alat-alat: semua benda-benda
atau alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh para pelaku
dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan
kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e).Waktu: setiap kegiatan selalu berada dalam suatu
tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan
waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya memperhatikan
kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara
keseluruhan.
f).Peristiwa: dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa diluar kegiatan-kegiatan yang
nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya. Seorang peneliti
yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.
g).Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa
juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya sebagaimana
terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan gerak tubuh atau
juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
h).Perasaan: pelaku-pelaku juga dalam kegiatan dan
interaksi dengan sesama para pelaku dapat terlihat dalam mengungkapkan perasaan
dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka dan gerakan
tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.
Dari
berbagai pendapat beberapa tokoh tentang pengamatan (observasi) maka dapat
disimpulkan bahwa pengamatan (observasi) dalam konteks penelitian ilmiah adalah
studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada
suatu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau
sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan
syarat-syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Agar
hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya maka hasil
pengamatannya hendaknya dibandingkan dengan hasil pengamatan peneliti lain
tentang orang atau fenomena yang sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat
juga dilakukan dengan mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan
menggunakan teknik lain misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula
dilakukan dengan membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant others.
Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif harus
ditegakkan.
Pendekatan
yang sistematis dalam observasi dikelompokkan pada berdasarkan pertanyaan ini :
1. Di
mana observasi di lakukan ?
2. Apa
yang diobservasi ?
3. Bagaimana
observasi di lakukan ?
4. Bilamana
observasi dilakukan ?
Situasi
observasi digolongkan menjadi tiga macam situasi atau setting, yakni :
1. Observasi
medan atau alamiah ( field setting ), yakni observasi di lapangan atau kancah
atau di tempat yang sesungguhnya. Misalnya,
Contoh
: observasi anak di rumahnya, di sekolahnya, atau di tempat bermain anak-anak,
observasi klien di rumah sakit atau klinik.
2. Observasi
simulative ( simulated setting ), yakni observasi dengan simulasi situasinya.
Artinya situasi observasi bila individu mendapat suatu simulasi (tiruan) atau
rangsangan untuk memperoleh tingkah laku tertentu
Contoh
: situasi kerja atau situasi tes ( tidak seluruhnya di kendalikan ).
3. Observasi
laboratories (laboratory setting), ialah observasi dengan situasi laboratrium,
sehingga situasinya dapat dikendalikan sepenuhnya oleh observer.
Jenis
observasi menurut pengamatan dari suatu perilaku
1. Observasi
sampel peristiwa ( even – sampling ), yakni hanya mengamati beberapa sampel
tingkah laku pada suatu saat tertentu.
Contohnya
: observasi tingkah laku kerjasama atau agresi pada waktu anak sedang bermain
bersama dengan teman-temannya di rumah atau di sekolah.
Flanagan
(1954) membuat prosedur “ critical technique “ dihubungkan dengan “ event
sampling “ dalam teknik (prosedur) ini observer mencatat segala tingkah laku
yang ada – yang baik dan yang buruk dalam suatu metode tertentu.
Contohnya
: seorang pengawas mencatat tingkah laku spesifik dan karakteristik kerja
tertentu yang menghasilkan hasil kerja yang efektif dan tidak efektif.
2. Observasi
sampel waktu ( time sampling ), yakni mengamati dan mencatat apa saja yang
dilakukan individu dalam waktu tertentu.
Contohnya
: dalam suatu tim bermain basket, seorang observer mengamati seorang pemain
selama 10 menit dan mencatat apa saja yang dilakukan pemain yang diamatinya
tadi.
Jenis
observasi menurut posisi observer dibedakan menjadi dua macam.
1. Observasi
non-partisipan, di sini posisi observer sebagai penonton, semacam ada di luar
yang diamati. Observer tidak ikut serta dalam kegiatan individu yang
diobservasi. Observasi benar-benar berfungsi sebagai penonton, pengamat dan
mencatat tingkah laku yang di observasi.
2. Observasi
partisipan, di sini posisi observer turut serta dalam kegiatan individu yang di
obsrvasi. Cara ini untuk memperoleh tingkah laku individu yang alamiah atau
wajar, tidak dibuat-buat, tidak dilantasi oleh rasa curiga atau perasaan sedang
diamati.
Contohnya
: mengobservasi permainan anak-anak, maka observer turut bermain dengan
anak-anak tadi.
Kelemahan
di observasi partisipan adalah, jika observer diketahui sebagai peneliti, maka
tingkah laku individu dapat berubah,anak-anak dapat menjadi curiga kepada
observernya.
Dibawah
ini kolom mengenai Observasi partisipan dan non-partisipan
Observasi non-partisipan
|
Observasi partisipan
|
• obsever tidak ikut serta
dalam kegiatan yang dilakukan oleh observe. Observer berlaku sebagai penonton
•Kelemahan: perilaku observe
tidak wajar bila merasa dirinya diamati. Karenanya observer harus mengatur
agar situasinya tidak formal, pencacatan tidak menyolok.
•Metode ini sebagai pelengkap
metode lain.
|
• metode ini untuk mengatasi
kelemahan metode obs. Non partisipan
•Observer ikut serta dalam
kegiatan yang dilakukan observer
•Dengan partisipasi observer,
maka observe tidak merasa kalau dirinya sedang dinilai, sehingga tingkah
lakunya wajar
•Observer harus memiliki
kemampuan teknis dasar-dasar teori yang melatar belakangi penelitiannya
|
Jenis
observasi dilihat dari segi pencatatan hasil
1. Observasi
dengan pencatatan langsung ( immediate recording ), artinya segera setalah
observasi dilakukan atau ketika pengamatan sedang berlangsung, observasi
membuat catatan-catatan yang diperlukan. Hanya, jika pencatatan ini diketahui
oleh individu yang diamati dapat mempengaruhi tingkah laku selanjutnya.
2. Observasi
dengan pencatatan retrospektif (retrospective recording), yaitu pencatatan
dilakukan setelah observasi selesei. Tetapi perlu di ingat, cara ini akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lupa dari observer.
Data
observasi dapat diperlukan sebagai data kualitatif, yaitu berupa
catatan-catatan verbal non-angka. Data yang berupa angka-angka disebut data
kualitatif, yakni yang dihasilkan oleh skala observasi, misalnya Impatient
Multidimensional Psychiatric Scale dari Lorr (1962).
Dengan
skala observasi dapat dicatat bermacam-macam tingkah laku pasien (dalam
klinik), misalnya apakah mental pasien Nampak enak, kaku, rawan, atau cara
bicaranya lambat gagap, cepat dan sebagainya. Beberapa contoh skala observasi
adalah sebagai berikut.METODELOGI PENELITIAN
WAWANCARA
Salah satu metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Cara inilah yang banyak dilakukan di Indonesia belakangan ini.
Wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap survey. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden. Data semacam itu merupakan tulang punggung suatu penelitian survey.
A. Pengertian Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Beberapa hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari adalah antara lain:
• Pewawancara dan responden biasanya belum saling kenal-mengenal sebelumnya.
• Responden selalu menjawab pertanyaan.
• Pewawancara selalu bertanya.
• Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban, tetapi harus selalu bersifat netral.
• Pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini dinamakan interview guide.
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi, 2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya, sermentara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari definisi itu, kita juga dapat mengetahuibahwa Tanya jawab dilakukan secara sistematis, telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan.
Pada penelitian, wawancara dapat berfungsi sebagai metode primer, pelengkap atau sebagai kriterium (Hadi, 1992). Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari wawancara merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian. Sebagai metode pelengkap, wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode lainnya yang digunakan untuk mengumpulkan data pada suatu penelitian. Sebagai kriterium, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang diperoleh dengan metode lain. Itu dilakukan, misalnya, untuk memeriksa apakah para kolektor data memeang telah memperoleh data dengan angket kepada subjek suatu penelitian, untuk itu dilakukan wawancara dengan sejumlah sample subjek tertentu.
Mengenai latar belakang pengguanaan wawancara sebagai metode pengumpulan data pada suatu penelitian, pendapat Allport ( dalam Hadi, 1992) berikut perlu dipertimbangkan: “If we want to know how people feel, what their experience and what they remember, what their emotions and motives are like, and the reasons for acting as they do – why not ask them?” Dari pendapat itu, kita mengetahui bahwa wawancara dapat atau lebih tepat digunakan untuk memperoleh data mengenai perasaan, pengalaman dan ingatan, emosi, motif, dan sejenisnya secara langsung dari subjeknya.
Charles Stewart dan W. B. Cash mendefinisikannya sebagai “sebuah proses komunikasi berpasangan dengan suatu tujuan yang serius dan telah ditetapkan sebelumnya yang dirancang untuk bertukar perilaku dan melibatkan tanya jawab”
Robert Kahn dan Charles Channel mendefinisikan wawancara sebagai “suatu pola yang dikhususkan dari interaksi verbal – diprakarsai untuk suatu tujuan tertentu, dan difokuskan pada sejumlah bidang kandungan tertentu, dengan proses eliminasi materi yang tak ada kaitannya secara berkelanjutan”.
Karena kata “mewawancarai” dalam penggunaan sehari-hari mengacu pada begitu banyak jenis interaksi yang berbeda-beda, sulit untuk menulis satu definisi yang mampu mengakomodasi semuanya. Meskipun demikian, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah definisi mendasar sebagai sebuah kerangka acuan. Oleh karenanya, kami mendefinisikan wawancara sebagai suatu bentuk yang dikhususkan dari komunikasi lisan dan bertatap muka antara orang-orang dalam sebuah hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Pembahasan mengenai beberapa istilah kunci dari definisi ini akan menjadikannya lebih bermakna.
Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaaa, dan situasi wawancara.
Pewawancara diharapkan menyampaikan pertanyaan kepada responden, merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki mencatatnya. Bila semua tugas ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka hasil wawancara menjadi kurang bermutu. Syarat menjadi pewawancara yang baik ialah ketrampilan mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan takut untuk menyampaikan pertanyaan.
Demikian pula responden dapat mempengaruhi hasil wawancara karena mutu jawaban yang diberikan tergantung pada apakah dia dapat menangkap isi pertanyaan dengan tepat serta bersedia menjawabnya dengan baik.
B. Jenis Wawancara
Sebagaimana metode lainnya yang digunakan pada penumpulan data, metode wawancara dibedakan berdasarkan cara pengadministrasiannya menjadi wawancara pribadi (Lerbin, 2007). Wawancara pribadi dapat dilakukan di rumah subjek, melalui komputer, dan di tempat perbelanjaan. Wawancara yang dilakukan di tempat perbelanjaan itu sering disebut wawancara mall intercept.
Contoh wawancara pribadi:
Pewawancara(P): Apakah Anda sudah pernah merasakan donat J.Co?
Subjek(S) : Sudah pernah.
P : Bagaimana pendapat Anda tentang cita rasa donat tersebut?]
S : Menurut saya donat tersebut enak, empuk, tidak terlalu manis, dan jenisnya beraneka ragam.
P : Seberapa sering Anda mengkonsumsi donat tersebut?
S : Sekitar tiga minggu sekali.
P : Kapan terakhir kali Anda mengkonsumsinya?
S : Dua minggu yang lalu.
Berdasarkan strukturnya, wawancara dibedakan menjadi wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Pada wawancara terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan telah terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya secara rinci. Pada wawancara tak terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan belum ditetapkan secara rinci. Rincian dari topik pertanyaan pada wawancara yang tak terstruktur disesuaikan dengan pelaksanaan wawancara di lapangan.
Contoh wawancara terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui tentang peristiwa kebakaran yang terjadi di komplek pertokoan ini yang baru terjadi kemarin?
S : Iya
P : Kapan peristiwa kebakaran tersebut terjadi?
S : Sekitar pukul 20.30 WIB.
P : Di mana Anda berada saat kebakaran terjadi?
S : Saya berada di dalam toko saya yang berjarak 300m dari kebakaran tersebut.
P : Bagaimana tindakan Anda begitu mengetahui peristiwa tersebut?
S :Langsung menelpon petugas pemadam kebakaran dan menyelamatkan berkas-berkas penting serta barang berharga lainnya.
Contoh wawancara tidak terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui akan tawuran antar pelajar SMA yang baru saja terjadi di kota ini?
S : Iya
P : Anda mengetahui peristiwa tersebut dari mana?
S : Dari teman saya.
P : Apakah teman Anda melihat langsung kejadian tersebut?
S : Iya, ia sedang melintas daerah tersebut saat tawuran terjadi.
P : Apakah teman Anda ketakutan ketika melihat peristiwa tersebut atau malah mendekat ke lokasi?
S : Ia malah mendekat ke lokasi dan sempat mengambil beberapa foto kejadian tersebut.
Hal yang dijelaskan pada metode angket banyak berkaitan secara langsung dengan metode wawancara karena wawancara sendiri memang dapat dipandang sebagai bentuk lain dari angket, khususnya dari segi pengadministrasiannya. Sejalan dengan itu, banyak hal-hal yang dijelaskan pada metode angket dapat juga dugunakan pada pelaksanaaan wawancara, terutama mengenai pengembangan hal-hal yang akan diungkap atau ditanyakan.
C. Hubungan dengan Orang yang Diwawancara
Keberhasilan suatu wawancara sangat ditentukan oleh bagaimana hubungan antara subjek dan pewawancara (Lerbin,2007). Suasana hubungan yang kondusif (disebut juga sebagai rapport) untuk keberhasilan suatu wawancara mencakup adanya sikap saling mempercayai dan kerja sama di antara mereka. Suasana yang demikian dapat diusahakan melalui beberapa cara, diantaranya pewawancara sebaiknya lebih dulu memperkenalkan diri dan mengemukakan secara jelas dan lugas tujuan wawancara yang akan dilakukannya. Hal itu dilakukan dengan sikap rendah hati dan bahwa yang berkepentinagan adalah pewawancara. Pada awal pertemuan, pewawancara juga harus menciptakan suasana yang santai dan bebas serta tidak formal agar proses wawancara dapat berlangsung secara lebih alamiah.
Pewawancara sebaiknya mengawali pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ‘pemanasan’ sebagai pendahuluan, sekalipun pertanyaan itu mungkin tidak berkaitan langsung dengan tujuan penelitian. Kemudian, secara perlahan-lahan, pewawancara mengarahkan pembicaraan pada tujuan penelitian. Hal itu dilakukan untuk memperlancar proses wawancara. Hal-hal yang ditanyakan pada pendahuluan itu sebaiknya adalah hal-hal yang menarik minat subjek. Dalam keadaan yang demikian, penggunaan ‘bahasa ibu’ dari subjek mungkin akan sangat membantu.
Pada pelaksanaan wawancara, pewawancra jangan menunjukkan sikap tidak percaya terhadap dan kurang menghargai jawaban yang diberikan subjek dan ajngan menunjukkan siakp yang tergesa-gesa. Adakalanya subjek mengalami blocking, pikirannya ‘tersumbat’ sehingga proses wawancara tidak berjalan dengan lancar. Dalam keadaan yang demikian, pewawancara harus dapat membantu subjek untuk keluar dari keadaan itu. Itu dapat dilakukan, misalnya denagn mengalihkan topik pembicaraan ke topik lain untuk sementara waktu.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pewawancara adalah bahwa ia harus dapat memahami keadaan subjek, ia harus memiliki empati. Dengan cara yang demikain, pewawancara akan lebih dapat mengarahkan wawancara sesuai dengan kondisi subjek.
Suatu hal yang penting dalam wawancara adalah si pewawancara dapat mengganti subjeknya (Nazir, 1988). Jika seorang responden misalnya tidak ingin memberikan keterangan tentang suatu hal, maka peneliti dapat pindah mencari responden lain. Tidak demikian halnya dalam pengamatan langsung. Karena itu, si peneliti harus dapat mencari jalan supaya pengamatan terhadap kejadian yang ingin diamati tidak boleh gagal.
Sebelum pewawancara turun untuk melaksanakan wawancara, maka dia harus lebih dahulu memeutuskan apakah ia akan memperkenalkan dirinya sebagai peneliti, ataukah ia akan bekerja sebagai incognito. Tetapi, pengalaman memprlihatkan bahwa sebaiknya si peneliti atau pewawancara memperkenalkan dirinya sebagai peneliti kelompok objek. Hal ini memberikan beberapa keuntungan antara lain:
• Hal tersebut adalah hal yang sederhana untuk dilakukan, karena dengan pemunculan orang asing secara tiba-tiba dapat menimbulkan kecurigaan.
• Akan mempertinggi kemungkinan memperoleh keterangan yang diinginkan.
• Jika ia bekerja secara incognito, maka ada perasaan kesalahan secara etika dalam diri si peneliti dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh objek yang sedang diteliti.
Yang paling penting dalam hal hubungan antara pengamat denagn yang diamati adalah si pengamat harus dapat meyakinkan objek atau harus dapat memberikan alasan-alasan yang tepat mengapa ia harus mengadakan pengamatan terhadap perilaku atau fenomena yang ingin diamati. Dalam partisipasi langsung untuk pengamatan kejadian atau fenomena maka adalah sangat penting bagi si peneliti untuk membuat dirinya dapat diterima dalam anggota kelompok di mana pengamatan akan dilakukan.
D. Pelatihan Wawancara
Latihan wawancara dilakukan untuk memberikan bekal keterampilan kepada pewawancara untuk mengumpulkan data dengan hasil baik. Karena tidak ada ukuran standar untuk survey ataupun pewawancara, maka tidak ada pula program latihan yang baku. Sifat, materi, dan lamanya program latihan disesuaikan dengan kebutuhan survey yang akan dilakukan. Misalnya tergantung pada jumlah dan kualitas pewawancara, waktu yang disediakan, mudah atau sukarnya kuisioner yang harus dipelajari dan juga besarnya anggaran yang tersedia (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989). Pada prinsipnya yang harus diberikan selama masa pelatihan formal adalah:
a. penjelasan tujuan penelitian
b. penjelasan tujuan tugas pewawancara dan menekankan pentingnya peranan pewawancara
c. penjelasan tiap nomor pertanyaan dalam kuisioner, baik konsep yang terkandung di dalamnya maupun tujuan pertanyaan tersebut. Pewawancara harus mengetahui dengan tepat maksud semua pertanyaan, agar dapat mengumpulkan informasi yang tepat dan jelas.
d. Penjelasan cara mencatat jawaban responden.
e. Penjelasan cara pengisian dan arti dari semua tanda-tanda pengisian kuisioner.
f. Pengertian yang mendalam mengenai pedoman wawancara, untuk mengurangi sejauh mungkin kegagalan dalam mendekati responden. Pedoman wawancara mencakup etika, sikap, persiapan, dan taktik wawancara.
g. Prosedur wawancara, dari mulai memperkenalkan diri sampai dengan meninggalkan respponden.
h. Orientasi tentang masalah apa yang dapat timbul di lapangan dan bagaimana mengatasinya.
i. Latihan wawancara
j. Diskusi tentang masalah latihan wawancara tersebut.
Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutama mengenai hal-hal apa saja yang perlu dicatat dan tidak. Hal lain yan gperlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf apabila ada hal-hal yang tidak berkenan selama wawancara berlangsung dan meminta kesediaan subjek untuk diwawancara kembali seandainya masih diperlukan.
Pada pelatihan juga perlu ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pewawancara perlu dilatih untuk agar bersikap faktual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujicobakan terlebih dahulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Pewawancara pada suatu penelitian dapat terdiri atas suatu atau beberapa orang. Wawancara itu seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang telah terlatih. Hal itu terutama dibutuhkan pada wawancara mendalam dan wawancara kelompok focus. Pewawancara itu biasanya dipilih dari orang-orang yang memiliki disiplin psikologi yang telah memperoleh pelatihan tambahan pada waktu kuliah (Lerbin, 2007).
Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutamamengenai hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu untuk dicatat, bagaimana cara mencatatnya dengan mudah, dan dalam keadaan yang bagaimana pencatatan dilakukan. Hal lain yang perlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf seandainya ada hal-hal yang tidak berkenen selama wawancara berlangsung serta meminta kesediaan subjek untuk diwawancarai kembali seandainya masih diperlukan.
Dalam mengajukan pertanyaan, pewawancara jangan bersikap seperti polisi, hakim ataupun pihak yang paling mengetahui mengenai topic yang dijelaskan. Demikian juga dengan nada bicara pewawancara. Dalam keadaan tertentu, pewawancara perlu juga dilatih mengenai cara-cara mendorong subjek untuk memberikan jawaban maupun mengorek lebih mendalam informasi yang dibutuhkan, termasuk motivasi subjek serta kejelasan maksud dari subjek atas jawaban yang diberikannya.
Pada pelatihan perlu juga ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pada wawancara, pewawancara sering kali harus memberikan penilaian sendiri atas jawaban yang diberikan subjek. Sehubungan dengan itu, pewawancara perlu dilatih agar bersikap factual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tetapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujucobakan lebih dulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya.
Wawancara dilakukan setelah persiapan, untuk itu dimantapakan. Dalam persiapan wawancara, sampel responden, kriteria-kriteria responden, pewawancara, serta interview guide, telah disiapkan dahulu (Nazir, 1988).
Interview guide sudah harus disusun dan pewawancara harus mengerti sekali akan isi serta makna dari interview guide tersebut. Segala pertanyaan yang ditanyakan haruslah tidak menyimpang dari panduan yang telah digariskan dalam interview guide tersebut. Latihan wawancara harus diadakan sebelum wawancara diadakan.
Umumnya pewawancara memegang peranan yang amat penting dalam memulai wawancara. Pewawancara harus dapat menggali keterangan-keterangan dari responden, dan harus dapat merasa serta membawa responden untuk memberikan informasi, baik dengan jalan:
1. membuat responden merasa bahwa dengan memberikan keterangan tersebut responden telah melepaskan kepuasannya karena suatu tujuan tertentu telah tercapai.
2. menghilangkan pembatas antara pewawancara dan responden sehingga wawancara dapat berjalan lancar.
3. keterangan diberikan karena kepuasannnya bertatap muka dan berbicara dengan pewawancara.
Umumnya urutan-urutan prosedur dalam memulai wawancara adalah sebagai berikut:
a. menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b. Menjelaskan mengapa responden terpilih untuk diwawancarai.
c. Menjelaskan institusia atau badan apa yang melaksanakan penelitian tersebut.
d. Menerangkan bahwa wawancara tersebut merupakan suatu hal yang confidensial.
Penjelasan tentang kegunaan dan tujuan penelitian dapat memberikan motivasi kepada responden untuk berwawancara. Kesangsian responden serta rasa curiga tentang keterlibatan atau pemilihan responden untuk menjawab pertanyaan dapat dihilangkan dengan menjelaskan bagaimana caranya dan mengapa responden yang bersangkutan terpilih sebagai responden. Penjelasan tentang institusi atau badan yang melaksanakan penelitian dapat membuat responden percaya bahwa keterangan-keterangan yang diberikan akan digunakan untuk keperluan yang objektif pula. Sifat wawancara yang konfidensial akan lebih mendorong responden untuk memberikan keterangan tanpa sembunyi-sembunyi dan mendorong responden memberikan keterangan secara jujur.
Kelancaran wawancara sangat dipengaruhi oleh adanya rapport. Rapport adalah suatu situasi di mana telah terjadi hubungan psikologis antara pewawancara dan responden, di mana rasa curiga responden telah hilang; antara responden dan pewawancara terjalin suasana berkomunikasi secara wajar dan jujur. Rapport adalah suasana atau atmosfir yang wajar dalam berbincang-bincang, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang ditanamkan ke dalam suatu wawancara. Jika wawancara dimulai dengan “Assalamualaikum” atau selamat pagi, kemudian menanyakan keadaan anak-anak dan sebagainya, belum tentu rapport sudah ada. Rapport adalah hubungan yang mendalam, seperti keterbukaan, toleransi, ramah, dan pengertian dan sebangsanya dalam proses wawancara. Cara berpakaian, cara menggunakan kata-kata, sikap hormat dan ramah tamah serta sifat tidak sok dari pewawancara dapat menghasilkan suatu rapport sehingga komunikasi dapat terjalin secara wajar dan tidak artificial. Air muka yang manis tanpa terlalu banyak berbasa-basi juga perlu diperhatikan dalam mengadakan rapport.
Dalam mencari keterangan, pewawancara janganlah mengalihakan perhatiannya terhadap dan terlalu asyik dengan kertas dan pensilnya saja. Pemendekan kata-kata dan merangkainya kembali kemudian, dapat dibenarkan dalam mencatat wawancara.
Beberapa sikap pewawancara dalam bertanya harus diperhatikan. Sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Netral. Jangan memberikan reaksi terhadap jaawaban, baik denagn kata-kata atau dengan perbuatan atau dengan gerak-gerik. Baik tidak baik, senang tidak senang, setuju tidak setuju jangan sekali-kali diperlihatkan oleh pewawancara dalam wawancara. Janagan memberikan sugesti.
b. Adil. Dalam wawancara, semua responden harus dianggap sama, jangan memihak pada sebagian responden sehingga responden merasa aman dalam memberikan keterangannya.
c. Ramah. Tunjukkan keramahan yang wajar, tidak dibuat-buat, segar, bermuka manis.
E. Pedoman Wawancara
Kesan pertama dari penampilan pewawancara, yang pertama diucapkan dan dilakukan pewawancara, sangatlah untuk merangsang sikap kerja sama dari pihak responden. Berdasarka pengalaman Michigan Survey Research Center diketahui, bahwa responden lebih mengingat pewawancara dan cara dia mewawancarai daripada isi wawancara. Karena itu, segala cara untuk mendapatkan sambutan simpatik dan sikap kerjasama dari responden sebaiknya dipahami dan dilatih dengan seksama. Dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu sadar bahwa dialah yang membutuhkan dan bukan sebaliknya (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989).
Pedoman untuk mencapai tujuan wawancar dengan baik adalah:
a. berpakaian sederhana, rapi, tanpa perhiasan
b. sikap rendah hati
c. sikap hormat kepada responden
d. ramah dalam sikap dan ucapan (tetapi efisien, jangan terlalu banyak berbasa-basi), dan disertai dengan air muka yang cerah
e. sikap yang penuh pengertian terhadap responden dan netral
f. bersikap seolah-olah tiap responden yang kita hadapi selalu ramah dan menarik
g. sanggup menjadi pendengar yang baik
Penggunaan metode wawancara biasanya diikuti dengan pedoman untuk melaksanakan wawancara itu. Pedoman tersebut berisi butir-butir yang akan ditanyakan, cara pencatatan dan pemberian skor (bila diperlukan) atas jawaban responden. Selain itu, peralatan dan kondisi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan wawancara juga perlu dispesifikasikan pada pedoman wawancara. Pada pedoman itu perlu juga dikemukakan persyaratan atau karakteristik subjek yang akan diwawancarai (Lerbin, 2007).
Mewawancarai hampir sama dengan bermain piano – skill yang cukup bisa diperoleh tanpa membutuhkan latihan formal. Tapi ada dunia yang berbeda dalam keterampilan, dalam hal teknik, dan dalam kemahiran antara seorang amatir yang bermain “dengan menggunakan telinga” dan seorang pianis konser yang ahli. Pemain yang belajar sendiri secara mekanis pada keyboardnya memainkan melodi-melodi tertentu yang melekat pada ingatannya; sang seniman, yang dengan ahli menggabungkan penguasaan teori musik, latihan yang tak terhitung lamanya, dan interpretasi pribadi, menciptakan suatu efek yang secara teknik pas, menyenangkan di telinga para pendengar, dan mengekspresikan perasaan paling mendalam dari sang pianis (Charles Stewart dan W. B. Cash, 2003).
Wawancara biasanya adalah suatu pertukaran lisan yang saling berhadapan langsung. Orang-orang yang terlibat berada di hadapan yang lainnya dan melisankan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan dengan suara keras. Ini memberikan wawancara sejumlah keuntungan dibandingkan dengan kuesioner, karena (a) para responden memiliki kemungkinan lebih besar untuk berbicara lebih banyak dibandingkan dengan menulis, (b) orang-orang menjadi lebih termotivasi dengan kehadiran orang lain, dan (c) pertukaran-pertukaran lisan menawarkan lebih banyak peluang-peluang langsung untuk menyelidik, mengklarifikasi jawaban-jawaban dan memberikan feedback.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Komunikasi dua arah umumnya lebih efektif dari komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah dicirikan oleh pesan-pesan yang pada dasarnya berjalan ke satu arah saja, misalnya, dari pewawancara ke yang diwawancarai. Pengirimnya tidak begitu tertarik pada respon-respon, pertanyaan-pertanyaan, komentar-komentar, atau reaksi-reaksi dari si penerima. Sebagai akibatnya, dalam sebuah situasi satu arah si pewawancara tidak merasa bahwa sudah terjadi saling pengertian atau bahwa pesannya sudah efektif karena tidak ada umpan balik (feedback). (Banyak orang yang merasa nyaman dengan situasi satu arah karena hal ini efisien dalam hal menghemat waktu dan mereka tidak harus merasa khawatir tentang reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar).
Hindari keliru mengasumsikan objek sudah tahu dengan pasti hasil-hasil yang mereka inginkan, si penerima pasti juga tahu. Sehingga, mereka seringkali mengabaikan untuk memberikan rincian-rincian penjelas. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
F. Wawancara Kelompok Fokus
Bila pada suatu wawancara hanya terdapat satu pewawancara dan satu subjek, maka wawancaranya dinamakan wawancara mendalam individual. Bila pada suatu wawancara ada satu pewawancara dan beberapa subjek, maka wawancaranya disebut wawancara kelompok fokus. Subjek pada wawancara kelompok fokus itu biasanya terdiri atas 8 sampai dengan 12 orang. Bila pada wawancara itu ada satu pewawancara dan 4 sampai dengan 5 subjek, wawancaranya disebut wawancara kelompok kecil.
Pada wawancara kelompok fokus, pewawancara sebenarnya lebih cenderung berfungsi sebagai moderator yang mengatur dan memperlancar arus pembicaraan. Wawancara itu biasanya berlangsung antara 1 samapai dengan 3 jam dalam suatu ruangan yang berlatar formal dan santai.
Para subjek yang disertakan dalam kalompok fokus adalah para subjek yang bersifat homogen. Untuk itu, para subjek harus telah diseleksi sebelum wawancara sehingga dapat diperoleh para subjek yang homogen. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Proses wawancara pada suatu kelompok fokus biasanya dicatat dengan menggunakan alat bantu, seperti video. Kemudian hasil rekaman video itulah yang akan dianalisis guna menjawab permasalahan penelitian. Teknik-teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif, seperti pada analisis isi. Pewawancara pada kelompok fokus harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk memperlancar jalannya diskusi dan untuk mengungkap hal-hal yang bersifat diagnostik.
Tujuan utama dari wawancara ini adalah untuk memperoleh pangetahuan yang mendalam dengan mendengar sekelompok orang dari pasar sasaran yang tepat untuk membicarakan isu yang diamati dengan peneliti. (Malhotra, 1993)
Wawancara itu difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus, seperti dalam menghadapi pimpinan rapat yang otoriter. Struktur situasi pada wawancara itu sendiri harus telah diselidiki sebelumnya oleh peneliti sehingga dapat menemukan unsur-unsur serta pola-polanya yang penting. Berdasarkan hasil tersebut kemudian dibuat pedoman wawancara. (Hadi, 1993)
Orang-orang dalam sebuah wawancara berada dalam sebuah hubungan interpersonal. Meskipun demikian, variasi-variasi tertentu dari wawancara bisa mencakup orang-orang dalam kelompok-kelompok. Umumnya, peran pewawancara akan dikembangkan dalam hal tiga fungsi utamanya: (1) merencanakan strategi-strategi, (2) melaksanakan atau mengatur wawancara, dan (3) mengukur hasil-hasilnya.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Orang-orang melakukan wawancara kelompok fokus biasanya untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan tugas; mereka punya sesuatu yang ingin mereka capai, yakni, menyeleksi seseorang untuk suatu pekerjaan, mengumpulkan data penelitian, menerima pasien, atau menulis kisah berita. Tujuan terkait tugas inilah yang membedakan wawancara dari sekedar perbincangan biasa. Suatu percakapan bisa sampai kemana saja; akan tetapi, wawancara harus difokuskan pada kandungan isi yang sesuai dengan tujuan utama. (Nazir, 1989).
G. Wawancara Mendalam
Sering jawaban responden kurang memuaskan karena masih bersifat terlalu umum, dan kurang khusus, misalnya: “Anak dapat membantu orang tua”. Membantu dalam hal apa? Di sini terdapat beberapa kemungkinan, kaena iu perlu ditanyakan lebih lanjut. Inilah yang disebut menggali informasi lebih dalam atau probing, sehingga diperoleh jawaban yang labih khusus dan tepat.
Apabila jawaban responden kurang meyakinkan, maka perlu ditanyakan keterangan lebih lanjut, dan kalimat yang disampaikan pun harus bersifat netral.
Probing ini termasuk salah satu bagian yang paling sulit dalam wawancara. Pengawas sebaiknya teliti dalam menilai jawaban-jawaban hasil probing. Sangat baik dianjurkan kepada pewawancara agar selalu menuliskan kalimat pertanyaan probing, di samping jawaban responden. Dengan demikian pengawas dapat mengetahui apakah cara bertanya sudah benar, tidak tendensius. (Masri Singarimbun, 1989)
Wawancara mendalam merupakan wawancara pribadi, langsung, dan tidak terstruktur dengan seorang subjek yang diselidiki oelh pewawancara yang sangat terampil untuk menemukan latar belakang motivasi, kayakinan, sikap, dan perasaan subjek terhadap satu topik. Wawancara ini biasanya berlangsung antara 30menit sampai dengan lebih dari satu jam.
Wawancara mendalam sering digunakan untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi, yang sulit untuk diungkap dengan metode atau teknik pengukuran lainnya. Untuk itu, pewawancaranya harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk mengungkapnya. Selain masalah pewawancara, penentuan xubjek yang akan diwawancara seringkali juga menjadi masalah. Wawancara ini biasanya digunakan pada penelitian eksploratif. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Wawancara mendalam adalah suatu bentuk yang khusus dari komunikasi oral dan berhadapan muka dalam suatu hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Keefektifannya bisa dinilai dalam hal tujuan wawancara, teknik-teknik yang digunakan, kerangka waktunya, sudut pandang orang yang melakukan evaluasi, dan reliabilitas dan validitas informasi yang diperoleh.
Aspek-aspek wawancara mendalam yang dapat direncanakan adalah tujuan-tujuan, pertanyaan-pertanyaan, setting, dan reaksi terhadap permasalahan-permasalahan khusus. Perencanaan semacam itu bisa memberikan kesiapan bagi si pewawancara untuk semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul dalam proses wawancara. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
Wawancara-wawancara mendalam terjadi karena suatu tujuan, dan memfokuskan pada jenis-jenis informasi tertentu. Salah satu karakteristik dari pewawancara yang baik adalah kemampuan untuk mengendalikan interaksi sehingga tujuan wawancara tercapai. Hal ini berarti bahwa tidak semua komentar atau respon relevan. Oleh karenanya, anda mungkin perlu menetapkan batasan-batasan mengenai jenis respon yang tepat.
Karena feedback adalah dimensi wawancara mendalam yang penting, pewawancara perlu melakukan upaya yang sangat penuh kesadaran dan terencana untuk mendapatkan feedback apabila tidak diberikan secara sukarela. Saran-saran berikut adalah teknik-teknik yang sangat bermanfaat guna menghasilkan feedback: (1) meminta feedback; (2) mendengarkan ketika diberikan; (3) melatih orang-orang agar merasa anda mau menerima feedback; dan (4) mempertahankan suasana yang memungkinkan adanya feedback.
Semua wawancara mendalam tersusun atas dua dimensi penting yang bisa dianalisa keefektifannya: kandungan isi dan hubungan. Yang cenderung akan lebih difokuskan adalah isi. Hendaknya melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi atau untuk memberikan informasi. Akan tetapi, menganggap bahwa hubungan antar pewawancara dan orang yang diwawancarai sama pentingnya dalam kebanyakan situasi. Bahkan, sifat-dasar hubungan tersebut bisa menentukan apakah informasi tertentu telah disampaikan selama wawancara atau tidak. (Dr. Nurul Murtadho, 1992).
H. Sumber Kekeliruan Pelaporan Hasil Wawancara
Perolehan data dengan memanfaatkan manusia, memiliki beberapa kelemahan sehingga hasil pengukuran yang diperoleh mengandung kekeliruan. Pada konteks wawancara ada beberapa hal yang menjadi sumber kekeliruan pengukurannya, baik dari pewawancara maupun dari orang yang diwawancarai, yaitu:
ingatan
hal yang seharusnya dilaporkan dilewatkan saja dan todak dilaporkan
melebih-lebihkan atau telah meramu jawabannya
mengganti hal yang tidak dapat diingat
tidak mampu mereproduksi kejadian menurut waktu atau hubungan antarfakta seperti apa adanya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Apabila responden menjawab ”tidak tahu”, maka pewawancara perlu berhati-hati. Sebaiknya pewawancara tidak lekas-lekas meninggalkan pertanyaan itu dan pindah ke pertanyaan lain. Jawaban ”tidak tahu” perlu mendapat perhatian, sebab jawaban itu dapat mengandung bermacam-macam arti, diantaranya:
a. responden tidak begitu mengerti pertanyaan pewawancara, sehingga untuk menghindari menjawab ”tidak mengerti” maka menjawab ”tidak tahu”
b. responden sebenarnya sedang berpikir, tapi karena merasa kurang tentram kalau membiarkan pewawancara menunggu lama, maka dia menjawab ”tidak tahu”
c. sering karena responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena dianggap terlalu pribadi, maka dia menjawab ”tidak tahu”. Dapat juga terjadi karena responden ragu-ragu atau takut mengutarakan pendapatnya responden memang benar-benar tidak tahu. Tentu saja itu mencerminkan jawaban sebenarnya. Namun, adalah tugas pewawancara untuk mengamati responden dengan cermat. Benarkah responden tidak tahu, atau adakah hal-hal lain di balik pikirannya. Dapat pula pewawancara mengulang pertanyaan sekali lagi atau menambah pertanyaan agar lebih yakin akan jawaban responden. (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989)
Sebagai contoh, Herbert Hyman melaporkan sejumlah penelitian yang mempertanyakan reliabilitas data. Dalam sebuah penelitian, pewawancara kulit hitam dan kulit putih mensurvey sebuah sampel orang-orang kulit hitam dan mendapatkan informasi yang berbeda. Si pewawancara berkulit hitam melaporkan lebih banyak kebencian mengenai diskriminasi dibandingkan si peneliti yang berkulit putih. Kenapa bisa? Kita tidak tahu pasti. Apakah orang-orang kulit hitam tersebut dengan sengaja menahan informasi, atau apakah orang secara perseptual telah dibutakan atau bias? Kita tidak tahu. Akan tetapi, fakta bahwa kedua kelompok tersebut berbeda membuat kita mempertanyakan reliabilitas data. Ada banyak penelitian seperti milik Hyman. Demikian pula, ketika dua orang petugas perekrutan memiliki penilaian yang jauh berbeda mengenai seorang kandidat yang sama, maka reliabilitasnya rendah. Karena jawaban-jawaban interviewee tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Salah satu penyebab terbesar dari permasalahan-permasalahan komunikasi adalah bahwa kita menganggap bahwa orang-orang sama seperti diri kita sendiri dan bukannya menyesuaikan diri dengan fakta bahwa mereka mungkin berbeda dalam beberapa hal. Kadangkala harapan untuk mendapatkan feedback tidak pernah diartikulasikan, dan orang-orangpun tidak memberikannya. Sebagai contoh, dulu ada seorang interviewee yang mendengarkan beberapa instruksi dari seorang interviewer. Komentarnya cuma, “Ya, pak”. Inilah salah satu penyebab sumber kekeliruan pelaporan hasil wawancara.
I. Keunggulan dan Kelemahan Wawancara
Kebaikan metode wawancara terletak pada keluwesannya. Artinya, wawancara dapat dengan mudah disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada saat wawancara berlangsung. Selain itu, melalui wawancara dapat juga diungkap hal-hal yang tersembunyi yang mungkin tidak dapat diungkap dengan metode lain, asalkan pewawancaranya memiliki ketrampilan yang dibutuhkan.
Kelemahan metode wawancara adalah dari segi banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dibutuhkan. Selain itu, pewawancara yang memiliki ketrampilan yang tinggi tidak mudah diperoleh, selain mahal, juga sulit atau lama untuk melatihnya (Lerbin R. Aritonang, 2007).
Beberapa keuntungan metode wawancara ditinjau dari segi operasional pekerjaan lapangan atau field work (Joseph R. Tarigan, 1995), antara lain:
a. mengumpulkan data melalui wawancara perorangan biasanya persentase hasil yang diperoleh lebih tinggi karena hampir semua orang dapat diajak bekerja sama
b. keterangan yang diperoleh melalui metode ini lebih dijamin kebenarannya daripada metode lain, karena petugas pencacah dapat menerangkan daftar/kuisioner tersebut kepada responden sehingga responden memberikan jawaban yang teliti. Apabila responden dengan sengaja memalsukan jawabannya, petugas pencacah akan mencoba menyadarkannya dengan menggunakan pendekatan khusus untuk mendapatkan jawaban yang betul
c. petugas pencacah dapat mengumpulkan keterangan yang lengkap tentang karakteristik pribadi responden dan sekitarnya dapat menasirkan dan mengevaluasi hasil-hasil yang mewakili dari unit survey
d. dengan mempertunjukkan secara visual, responden dapat menangkap dan mengerti apa yang dimaksud
e. kunjungan ulang (re-visit) untuk melengkapi keterangan yang kurang pada daftar (kuisioner) atau membetulkan kasalahan-kasalahan, biasanya dapat dilakukan tanpa mengecewakan responden
f. petugas pencacah mungkin berhasil mendapatkan jawaban yang lebih spontan daripada kalau kuisioner tersebut dikirim lewat pos atau ditinggalkan untuk diisi oleh responden
Walaupun metode wawancara memiliki berbagai keuntungan dalam pelaksanaan lapangan, tetapi metode ini tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain:
a. pengaruh pribadi petugas pencacah dalam pelaksanaan wawancara dapat menghambat jawaban responden. Contohnya: apabila pencacah menunjukkan sikap tertentu (memaksakan pendapat), maka tanpa disadarinya akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan konfirmasi atau menguatkan pandangannya sendiri. Bagi petugas pencacah yang memiliki sikap wawancara seperti ini, dianjurkan untuk menanyakan pertanyaan sesuai dengan kata-kata yang terdapat dalam kuisioner.
b. Jika pencacah kenal dengan responden, maka mungkin responden akan keberatan untuk memberikan keterangan-keterangan yang bersifat pribadi. Responden mungkin menganggap hal ini sebagai mencampuri urusan pribadi dan menghilangkan sifat rahasia survey ini.
Beberapa keuntungan melaksanakan pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara adalah (Suparmoko, 1992):
a. pelaksanaan wawancara mungkin memakan waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan responden menjadi lebih mengerti akan topik yang ditanyakan, sehingga hubungannya dengan materi yang relevan lebih memungkinkan.
b. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sangat sensitif untuk responden dapat ditanyakan secara taktis oleh petugas pencacah sehingga tidak menyinggung perasaan responden. Dengan melihat reaksi responden, petugas pencacah dapat mengalihkan permasalahan kalau perlu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai persoalan survey ataupun komentar-komentar lain unuk memancing responden memberikan jawaban. Dengan kata lain, situasi yang agak rumit biasanya dapat diatasi lebih baik dan efektif dengan persoalan metode wawancara dibandingkan dengan metode lain.
c. Bahasa survey dapat disesuaikan dengan kemampuan atau tingkat pendidikan responden. Oleh karena itu lebih mudah untuk emnghindarkan salah pengertian atau salah pengarahan dari pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa dalam survey tertentu adalah penting untuk petugas pencacah supaya tidak merubah kata-kata atau urutan pertanyaan yang ada, supaya mendapatkan jawaban yang bisa dipercaya. Dalam hal ini kepada petugas pencacah akan diberitahu selama mereka mengikuti latihan.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada penggunaan metode wawancara antara lain:
a. jika responden yang akan dikunjungi menyebar di daerah yang sangat luas, maka biaya perjalanan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi responden tidak sedikit. Hal ini mungkin membuat penggunaan metode wawancara menjadi tidak ekonomis dan tidak efisien.
b. Dalam memilih, melatih, dan membimbing petugas pencacah lapangan diperlukan suatu organisasi, sehingga dalam pelaksanaannya lebih rumit dibandingkan dengan metode lain.
c. Kesempatan dan waktu wawancara dengan responden terbatas artinya mungkin hanya dapat dilakukan malam hari saja atau hanya satu atau dua jam saja pada sore hari, sehingga membutuhkan banyak petugas agar waktu yang ditentukan dapat dicapai.
readmore »»
Salah satu metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Cara inilah yang banyak dilakukan di Indonesia belakangan ini.
Wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap survey. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden. Data semacam itu merupakan tulang punggung suatu penelitian survey.
A. Pengertian Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Beberapa hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari adalah antara lain:
• Pewawancara dan responden biasanya belum saling kenal-mengenal sebelumnya.
• Responden selalu menjawab pertanyaan.
• Pewawancara selalu bertanya.
• Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban, tetapi harus selalu bersifat netral.
• Pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini dinamakan interview guide.
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi, 2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya, sermentara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari definisi itu, kita juga dapat mengetahuibahwa Tanya jawab dilakukan secara sistematis, telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan.
Pada penelitian, wawancara dapat berfungsi sebagai metode primer, pelengkap atau sebagai kriterium (Hadi, 1992). Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari wawancara merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian. Sebagai metode pelengkap, wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode lainnya yang digunakan untuk mengumpulkan data pada suatu penelitian. Sebagai kriterium, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang diperoleh dengan metode lain. Itu dilakukan, misalnya, untuk memeriksa apakah para kolektor data memeang telah memperoleh data dengan angket kepada subjek suatu penelitian, untuk itu dilakukan wawancara dengan sejumlah sample subjek tertentu.
Mengenai latar belakang pengguanaan wawancara sebagai metode pengumpulan data pada suatu penelitian, pendapat Allport ( dalam Hadi, 1992) berikut perlu dipertimbangkan: “If we want to know how people feel, what their experience and what they remember, what their emotions and motives are like, and the reasons for acting as they do – why not ask them?” Dari pendapat itu, kita mengetahui bahwa wawancara dapat atau lebih tepat digunakan untuk memperoleh data mengenai perasaan, pengalaman dan ingatan, emosi, motif, dan sejenisnya secara langsung dari subjeknya.
Charles Stewart dan W. B. Cash mendefinisikannya sebagai “sebuah proses komunikasi berpasangan dengan suatu tujuan yang serius dan telah ditetapkan sebelumnya yang dirancang untuk bertukar perilaku dan melibatkan tanya jawab”
Robert Kahn dan Charles Channel mendefinisikan wawancara sebagai “suatu pola yang dikhususkan dari interaksi verbal – diprakarsai untuk suatu tujuan tertentu, dan difokuskan pada sejumlah bidang kandungan tertentu, dengan proses eliminasi materi yang tak ada kaitannya secara berkelanjutan”.
Karena kata “mewawancarai” dalam penggunaan sehari-hari mengacu pada begitu banyak jenis interaksi yang berbeda-beda, sulit untuk menulis satu definisi yang mampu mengakomodasi semuanya. Meskipun demikian, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah definisi mendasar sebagai sebuah kerangka acuan. Oleh karenanya, kami mendefinisikan wawancara sebagai suatu bentuk yang dikhususkan dari komunikasi lisan dan bertatap muka antara orang-orang dalam sebuah hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Pembahasan mengenai beberapa istilah kunci dari definisi ini akan menjadikannya lebih bermakna.
Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaaa, dan situasi wawancara.
Pewawancara diharapkan menyampaikan pertanyaan kepada responden, merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki mencatatnya. Bila semua tugas ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka hasil wawancara menjadi kurang bermutu. Syarat menjadi pewawancara yang baik ialah ketrampilan mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan takut untuk menyampaikan pertanyaan.
Demikian pula responden dapat mempengaruhi hasil wawancara karena mutu jawaban yang diberikan tergantung pada apakah dia dapat menangkap isi pertanyaan dengan tepat serta bersedia menjawabnya dengan baik.
B. Jenis Wawancara
Sebagaimana metode lainnya yang digunakan pada penumpulan data, metode wawancara dibedakan berdasarkan cara pengadministrasiannya menjadi wawancara pribadi (Lerbin, 2007). Wawancara pribadi dapat dilakukan di rumah subjek, melalui komputer, dan di tempat perbelanjaan. Wawancara yang dilakukan di tempat perbelanjaan itu sering disebut wawancara mall intercept.
Contoh wawancara pribadi:
Pewawancara(P): Apakah Anda sudah pernah merasakan donat J.Co?
Subjek(S) : Sudah pernah.
P : Bagaimana pendapat Anda tentang cita rasa donat tersebut?]
S : Menurut saya donat tersebut enak, empuk, tidak terlalu manis, dan jenisnya beraneka ragam.
P : Seberapa sering Anda mengkonsumsi donat tersebut?
S : Sekitar tiga minggu sekali.
P : Kapan terakhir kali Anda mengkonsumsinya?
S : Dua minggu yang lalu.
Berdasarkan strukturnya, wawancara dibedakan menjadi wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Pada wawancara terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan telah terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya secara rinci. Pada wawancara tak terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan belum ditetapkan secara rinci. Rincian dari topik pertanyaan pada wawancara yang tak terstruktur disesuaikan dengan pelaksanaan wawancara di lapangan.
Contoh wawancara terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui tentang peristiwa kebakaran yang terjadi di komplek pertokoan ini yang baru terjadi kemarin?
S : Iya
P : Kapan peristiwa kebakaran tersebut terjadi?
S : Sekitar pukul 20.30 WIB.
P : Di mana Anda berada saat kebakaran terjadi?
S : Saya berada di dalam toko saya yang berjarak 300m dari kebakaran tersebut.
P : Bagaimana tindakan Anda begitu mengetahui peristiwa tersebut?
S :Langsung menelpon petugas pemadam kebakaran dan menyelamatkan berkas-berkas penting serta barang berharga lainnya.
Contoh wawancara tidak terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui akan tawuran antar pelajar SMA yang baru saja terjadi di kota ini?
S : Iya
P : Anda mengetahui peristiwa tersebut dari mana?
S : Dari teman saya.
P : Apakah teman Anda melihat langsung kejadian tersebut?
S : Iya, ia sedang melintas daerah tersebut saat tawuran terjadi.
P : Apakah teman Anda ketakutan ketika melihat peristiwa tersebut atau malah mendekat ke lokasi?
S : Ia malah mendekat ke lokasi dan sempat mengambil beberapa foto kejadian tersebut.
Hal yang dijelaskan pada metode angket banyak berkaitan secara langsung dengan metode wawancara karena wawancara sendiri memang dapat dipandang sebagai bentuk lain dari angket, khususnya dari segi pengadministrasiannya. Sejalan dengan itu, banyak hal-hal yang dijelaskan pada metode angket dapat juga dugunakan pada pelaksanaaan wawancara, terutama mengenai pengembangan hal-hal yang akan diungkap atau ditanyakan.
C. Hubungan dengan Orang yang Diwawancara
Keberhasilan suatu wawancara sangat ditentukan oleh bagaimana hubungan antara subjek dan pewawancara (Lerbin,2007). Suasana hubungan yang kondusif (disebut juga sebagai rapport) untuk keberhasilan suatu wawancara mencakup adanya sikap saling mempercayai dan kerja sama di antara mereka. Suasana yang demikian dapat diusahakan melalui beberapa cara, diantaranya pewawancara sebaiknya lebih dulu memperkenalkan diri dan mengemukakan secara jelas dan lugas tujuan wawancara yang akan dilakukannya. Hal itu dilakukan dengan sikap rendah hati dan bahwa yang berkepentinagan adalah pewawancara. Pada awal pertemuan, pewawancara juga harus menciptakan suasana yang santai dan bebas serta tidak formal agar proses wawancara dapat berlangsung secara lebih alamiah.
Pewawancara sebaiknya mengawali pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ‘pemanasan’ sebagai pendahuluan, sekalipun pertanyaan itu mungkin tidak berkaitan langsung dengan tujuan penelitian. Kemudian, secara perlahan-lahan, pewawancara mengarahkan pembicaraan pada tujuan penelitian. Hal itu dilakukan untuk memperlancar proses wawancara. Hal-hal yang ditanyakan pada pendahuluan itu sebaiknya adalah hal-hal yang menarik minat subjek. Dalam keadaan yang demikian, penggunaan ‘bahasa ibu’ dari subjek mungkin akan sangat membantu.
Pada pelaksanaan wawancara, pewawancra jangan menunjukkan sikap tidak percaya terhadap dan kurang menghargai jawaban yang diberikan subjek dan ajngan menunjukkan siakp yang tergesa-gesa. Adakalanya subjek mengalami blocking, pikirannya ‘tersumbat’ sehingga proses wawancara tidak berjalan dengan lancar. Dalam keadaan yang demikian, pewawancara harus dapat membantu subjek untuk keluar dari keadaan itu. Itu dapat dilakukan, misalnya denagn mengalihkan topik pembicaraan ke topik lain untuk sementara waktu.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pewawancara adalah bahwa ia harus dapat memahami keadaan subjek, ia harus memiliki empati. Dengan cara yang demikain, pewawancara akan lebih dapat mengarahkan wawancara sesuai dengan kondisi subjek.
Suatu hal yang penting dalam wawancara adalah si pewawancara dapat mengganti subjeknya (Nazir, 1988). Jika seorang responden misalnya tidak ingin memberikan keterangan tentang suatu hal, maka peneliti dapat pindah mencari responden lain. Tidak demikian halnya dalam pengamatan langsung. Karena itu, si peneliti harus dapat mencari jalan supaya pengamatan terhadap kejadian yang ingin diamati tidak boleh gagal.
Sebelum pewawancara turun untuk melaksanakan wawancara, maka dia harus lebih dahulu memeutuskan apakah ia akan memperkenalkan dirinya sebagai peneliti, ataukah ia akan bekerja sebagai incognito. Tetapi, pengalaman memprlihatkan bahwa sebaiknya si peneliti atau pewawancara memperkenalkan dirinya sebagai peneliti kelompok objek. Hal ini memberikan beberapa keuntungan antara lain:
• Hal tersebut adalah hal yang sederhana untuk dilakukan, karena dengan pemunculan orang asing secara tiba-tiba dapat menimbulkan kecurigaan.
• Akan mempertinggi kemungkinan memperoleh keterangan yang diinginkan.
• Jika ia bekerja secara incognito, maka ada perasaan kesalahan secara etika dalam diri si peneliti dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh objek yang sedang diteliti.
Yang paling penting dalam hal hubungan antara pengamat denagn yang diamati adalah si pengamat harus dapat meyakinkan objek atau harus dapat memberikan alasan-alasan yang tepat mengapa ia harus mengadakan pengamatan terhadap perilaku atau fenomena yang ingin diamati. Dalam partisipasi langsung untuk pengamatan kejadian atau fenomena maka adalah sangat penting bagi si peneliti untuk membuat dirinya dapat diterima dalam anggota kelompok di mana pengamatan akan dilakukan.
D. Pelatihan Wawancara
Latihan wawancara dilakukan untuk memberikan bekal keterampilan kepada pewawancara untuk mengumpulkan data dengan hasil baik. Karena tidak ada ukuran standar untuk survey ataupun pewawancara, maka tidak ada pula program latihan yang baku. Sifat, materi, dan lamanya program latihan disesuaikan dengan kebutuhan survey yang akan dilakukan. Misalnya tergantung pada jumlah dan kualitas pewawancara, waktu yang disediakan, mudah atau sukarnya kuisioner yang harus dipelajari dan juga besarnya anggaran yang tersedia (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989). Pada prinsipnya yang harus diberikan selama masa pelatihan formal adalah:
a. penjelasan tujuan penelitian
b. penjelasan tujuan tugas pewawancara dan menekankan pentingnya peranan pewawancara
c. penjelasan tiap nomor pertanyaan dalam kuisioner, baik konsep yang terkandung di dalamnya maupun tujuan pertanyaan tersebut. Pewawancara harus mengetahui dengan tepat maksud semua pertanyaan, agar dapat mengumpulkan informasi yang tepat dan jelas.
d. Penjelasan cara mencatat jawaban responden.
e. Penjelasan cara pengisian dan arti dari semua tanda-tanda pengisian kuisioner.
f. Pengertian yang mendalam mengenai pedoman wawancara, untuk mengurangi sejauh mungkin kegagalan dalam mendekati responden. Pedoman wawancara mencakup etika, sikap, persiapan, dan taktik wawancara.
g. Prosedur wawancara, dari mulai memperkenalkan diri sampai dengan meninggalkan respponden.
h. Orientasi tentang masalah apa yang dapat timbul di lapangan dan bagaimana mengatasinya.
i. Latihan wawancara
j. Diskusi tentang masalah latihan wawancara tersebut.
Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutama mengenai hal-hal apa saja yang perlu dicatat dan tidak. Hal lain yan gperlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf apabila ada hal-hal yang tidak berkenan selama wawancara berlangsung dan meminta kesediaan subjek untuk diwawancara kembali seandainya masih diperlukan.
Pada pelatihan juga perlu ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pewawancara perlu dilatih untuk agar bersikap faktual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujicobakan terlebih dahulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Pewawancara pada suatu penelitian dapat terdiri atas suatu atau beberapa orang. Wawancara itu seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang telah terlatih. Hal itu terutama dibutuhkan pada wawancara mendalam dan wawancara kelompok focus. Pewawancara itu biasanya dipilih dari orang-orang yang memiliki disiplin psikologi yang telah memperoleh pelatihan tambahan pada waktu kuliah (Lerbin, 2007).
Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutamamengenai hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu untuk dicatat, bagaimana cara mencatatnya dengan mudah, dan dalam keadaan yang bagaimana pencatatan dilakukan. Hal lain yang perlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf seandainya ada hal-hal yang tidak berkenen selama wawancara berlangsung serta meminta kesediaan subjek untuk diwawancarai kembali seandainya masih diperlukan.
Dalam mengajukan pertanyaan, pewawancara jangan bersikap seperti polisi, hakim ataupun pihak yang paling mengetahui mengenai topic yang dijelaskan. Demikian juga dengan nada bicara pewawancara. Dalam keadaan tertentu, pewawancara perlu juga dilatih mengenai cara-cara mendorong subjek untuk memberikan jawaban maupun mengorek lebih mendalam informasi yang dibutuhkan, termasuk motivasi subjek serta kejelasan maksud dari subjek atas jawaban yang diberikannya.
Pada pelatihan perlu juga ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pada wawancara, pewawancara sering kali harus memberikan penilaian sendiri atas jawaban yang diberikan subjek. Sehubungan dengan itu, pewawancara perlu dilatih agar bersikap factual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tetapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujucobakan lebih dulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya.
Wawancara dilakukan setelah persiapan, untuk itu dimantapakan. Dalam persiapan wawancara, sampel responden, kriteria-kriteria responden, pewawancara, serta interview guide, telah disiapkan dahulu (Nazir, 1988).
Interview guide sudah harus disusun dan pewawancara harus mengerti sekali akan isi serta makna dari interview guide tersebut. Segala pertanyaan yang ditanyakan haruslah tidak menyimpang dari panduan yang telah digariskan dalam interview guide tersebut. Latihan wawancara harus diadakan sebelum wawancara diadakan.
Umumnya pewawancara memegang peranan yang amat penting dalam memulai wawancara. Pewawancara harus dapat menggali keterangan-keterangan dari responden, dan harus dapat merasa serta membawa responden untuk memberikan informasi, baik dengan jalan:
1. membuat responden merasa bahwa dengan memberikan keterangan tersebut responden telah melepaskan kepuasannya karena suatu tujuan tertentu telah tercapai.
2. menghilangkan pembatas antara pewawancara dan responden sehingga wawancara dapat berjalan lancar.
3. keterangan diberikan karena kepuasannnya bertatap muka dan berbicara dengan pewawancara.
Umumnya urutan-urutan prosedur dalam memulai wawancara adalah sebagai berikut:
a. menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b. Menjelaskan mengapa responden terpilih untuk diwawancarai.
c. Menjelaskan institusia atau badan apa yang melaksanakan penelitian tersebut.
d. Menerangkan bahwa wawancara tersebut merupakan suatu hal yang confidensial.
Penjelasan tentang kegunaan dan tujuan penelitian dapat memberikan motivasi kepada responden untuk berwawancara. Kesangsian responden serta rasa curiga tentang keterlibatan atau pemilihan responden untuk menjawab pertanyaan dapat dihilangkan dengan menjelaskan bagaimana caranya dan mengapa responden yang bersangkutan terpilih sebagai responden. Penjelasan tentang institusi atau badan yang melaksanakan penelitian dapat membuat responden percaya bahwa keterangan-keterangan yang diberikan akan digunakan untuk keperluan yang objektif pula. Sifat wawancara yang konfidensial akan lebih mendorong responden untuk memberikan keterangan tanpa sembunyi-sembunyi dan mendorong responden memberikan keterangan secara jujur.
Kelancaran wawancara sangat dipengaruhi oleh adanya rapport. Rapport adalah suatu situasi di mana telah terjadi hubungan psikologis antara pewawancara dan responden, di mana rasa curiga responden telah hilang; antara responden dan pewawancara terjalin suasana berkomunikasi secara wajar dan jujur. Rapport adalah suasana atau atmosfir yang wajar dalam berbincang-bincang, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang ditanamkan ke dalam suatu wawancara. Jika wawancara dimulai dengan “Assalamualaikum” atau selamat pagi, kemudian menanyakan keadaan anak-anak dan sebagainya, belum tentu rapport sudah ada. Rapport adalah hubungan yang mendalam, seperti keterbukaan, toleransi, ramah, dan pengertian dan sebangsanya dalam proses wawancara. Cara berpakaian, cara menggunakan kata-kata, sikap hormat dan ramah tamah serta sifat tidak sok dari pewawancara dapat menghasilkan suatu rapport sehingga komunikasi dapat terjalin secara wajar dan tidak artificial. Air muka yang manis tanpa terlalu banyak berbasa-basi juga perlu diperhatikan dalam mengadakan rapport.
Dalam mencari keterangan, pewawancara janganlah mengalihakan perhatiannya terhadap dan terlalu asyik dengan kertas dan pensilnya saja. Pemendekan kata-kata dan merangkainya kembali kemudian, dapat dibenarkan dalam mencatat wawancara.
Beberapa sikap pewawancara dalam bertanya harus diperhatikan. Sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Netral. Jangan memberikan reaksi terhadap jaawaban, baik denagn kata-kata atau dengan perbuatan atau dengan gerak-gerik. Baik tidak baik, senang tidak senang, setuju tidak setuju jangan sekali-kali diperlihatkan oleh pewawancara dalam wawancara. Janagan memberikan sugesti.
b. Adil. Dalam wawancara, semua responden harus dianggap sama, jangan memihak pada sebagian responden sehingga responden merasa aman dalam memberikan keterangannya.
c. Ramah. Tunjukkan keramahan yang wajar, tidak dibuat-buat, segar, bermuka manis.
E. Pedoman Wawancara
Kesan pertama dari penampilan pewawancara, yang pertama diucapkan dan dilakukan pewawancara, sangatlah untuk merangsang sikap kerja sama dari pihak responden. Berdasarka pengalaman Michigan Survey Research Center diketahui, bahwa responden lebih mengingat pewawancara dan cara dia mewawancarai daripada isi wawancara. Karena itu, segala cara untuk mendapatkan sambutan simpatik dan sikap kerjasama dari responden sebaiknya dipahami dan dilatih dengan seksama. Dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu sadar bahwa dialah yang membutuhkan dan bukan sebaliknya (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989).
Pedoman untuk mencapai tujuan wawancar dengan baik adalah:
a. berpakaian sederhana, rapi, tanpa perhiasan
b. sikap rendah hati
c. sikap hormat kepada responden
d. ramah dalam sikap dan ucapan (tetapi efisien, jangan terlalu banyak berbasa-basi), dan disertai dengan air muka yang cerah
e. sikap yang penuh pengertian terhadap responden dan netral
f. bersikap seolah-olah tiap responden yang kita hadapi selalu ramah dan menarik
g. sanggup menjadi pendengar yang baik
Penggunaan metode wawancara biasanya diikuti dengan pedoman untuk melaksanakan wawancara itu. Pedoman tersebut berisi butir-butir yang akan ditanyakan, cara pencatatan dan pemberian skor (bila diperlukan) atas jawaban responden. Selain itu, peralatan dan kondisi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan wawancara juga perlu dispesifikasikan pada pedoman wawancara. Pada pedoman itu perlu juga dikemukakan persyaratan atau karakteristik subjek yang akan diwawancarai (Lerbin, 2007).
Mewawancarai hampir sama dengan bermain piano – skill yang cukup bisa diperoleh tanpa membutuhkan latihan formal. Tapi ada dunia yang berbeda dalam keterampilan, dalam hal teknik, dan dalam kemahiran antara seorang amatir yang bermain “dengan menggunakan telinga” dan seorang pianis konser yang ahli. Pemain yang belajar sendiri secara mekanis pada keyboardnya memainkan melodi-melodi tertentu yang melekat pada ingatannya; sang seniman, yang dengan ahli menggabungkan penguasaan teori musik, latihan yang tak terhitung lamanya, dan interpretasi pribadi, menciptakan suatu efek yang secara teknik pas, menyenangkan di telinga para pendengar, dan mengekspresikan perasaan paling mendalam dari sang pianis (Charles Stewart dan W. B. Cash, 2003).
Wawancara biasanya adalah suatu pertukaran lisan yang saling berhadapan langsung. Orang-orang yang terlibat berada di hadapan yang lainnya dan melisankan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan dengan suara keras. Ini memberikan wawancara sejumlah keuntungan dibandingkan dengan kuesioner, karena (a) para responden memiliki kemungkinan lebih besar untuk berbicara lebih banyak dibandingkan dengan menulis, (b) orang-orang menjadi lebih termotivasi dengan kehadiran orang lain, dan (c) pertukaran-pertukaran lisan menawarkan lebih banyak peluang-peluang langsung untuk menyelidik, mengklarifikasi jawaban-jawaban dan memberikan feedback.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Komunikasi dua arah umumnya lebih efektif dari komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah dicirikan oleh pesan-pesan yang pada dasarnya berjalan ke satu arah saja, misalnya, dari pewawancara ke yang diwawancarai. Pengirimnya tidak begitu tertarik pada respon-respon, pertanyaan-pertanyaan, komentar-komentar, atau reaksi-reaksi dari si penerima. Sebagai akibatnya, dalam sebuah situasi satu arah si pewawancara tidak merasa bahwa sudah terjadi saling pengertian atau bahwa pesannya sudah efektif karena tidak ada umpan balik (feedback). (Banyak orang yang merasa nyaman dengan situasi satu arah karena hal ini efisien dalam hal menghemat waktu dan mereka tidak harus merasa khawatir tentang reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar).
Hindari keliru mengasumsikan objek sudah tahu dengan pasti hasil-hasil yang mereka inginkan, si penerima pasti juga tahu. Sehingga, mereka seringkali mengabaikan untuk memberikan rincian-rincian penjelas. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
F. Wawancara Kelompok Fokus
Bila pada suatu wawancara hanya terdapat satu pewawancara dan satu subjek, maka wawancaranya dinamakan wawancara mendalam individual. Bila pada suatu wawancara ada satu pewawancara dan beberapa subjek, maka wawancaranya disebut wawancara kelompok fokus. Subjek pada wawancara kelompok fokus itu biasanya terdiri atas 8 sampai dengan 12 orang. Bila pada wawancara itu ada satu pewawancara dan 4 sampai dengan 5 subjek, wawancaranya disebut wawancara kelompok kecil.
Pada wawancara kelompok fokus, pewawancara sebenarnya lebih cenderung berfungsi sebagai moderator yang mengatur dan memperlancar arus pembicaraan. Wawancara itu biasanya berlangsung antara 1 samapai dengan 3 jam dalam suatu ruangan yang berlatar formal dan santai.
Para subjek yang disertakan dalam kalompok fokus adalah para subjek yang bersifat homogen. Untuk itu, para subjek harus telah diseleksi sebelum wawancara sehingga dapat diperoleh para subjek yang homogen. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Proses wawancara pada suatu kelompok fokus biasanya dicatat dengan menggunakan alat bantu, seperti video. Kemudian hasil rekaman video itulah yang akan dianalisis guna menjawab permasalahan penelitian. Teknik-teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif, seperti pada analisis isi. Pewawancara pada kelompok fokus harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk memperlancar jalannya diskusi dan untuk mengungkap hal-hal yang bersifat diagnostik.
Tujuan utama dari wawancara ini adalah untuk memperoleh pangetahuan yang mendalam dengan mendengar sekelompok orang dari pasar sasaran yang tepat untuk membicarakan isu yang diamati dengan peneliti. (Malhotra, 1993)
Wawancara itu difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus, seperti dalam menghadapi pimpinan rapat yang otoriter. Struktur situasi pada wawancara itu sendiri harus telah diselidiki sebelumnya oleh peneliti sehingga dapat menemukan unsur-unsur serta pola-polanya yang penting. Berdasarkan hasil tersebut kemudian dibuat pedoman wawancara. (Hadi, 1993)
Orang-orang dalam sebuah wawancara berada dalam sebuah hubungan interpersonal. Meskipun demikian, variasi-variasi tertentu dari wawancara bisa mencakup orang-orang dalam kelompok-kelompok. Umumnya, peran pewawancara akan dikembangkan dalam hal tiga fungsi utamanya: (1) merencanakan strategi-strategi, (2) melaksanakan atau mengatur wawancara, dan (3) mengukur hasil-hasilnya.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Orang-orang melakukan wawancara kelompok fokus biasanya untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan tugas; mereka punya sesuatu yang ingin mereka capai, yakni, menyeleksi seseorang untuk suatu pekerjaan, mengumpulkan data penelitian, menerima pasien, atau menulis kisah berita. Tujuan terkait tugas inilah yang membedakan wawancara dari sekedar perbincangan biasa. Suatu percakapan bisa sampai kemana saja; akan tetapi, wawancara harus difokuskan pada kandungan isi yang sesuai dengan tujuan utama. (Nazir, 1989).
G. Wawancara Mendalam
Sering jawaban responden kurang memuaskan karena masih bersifat terlalu umum, dan kurang khusus, misalnya: “Anak dapat membantu orang tua”. Membantu dalam hal apa? Di sini terdapat beberapa kemungkinan, kaena iu perlu ditanyakan lebih lanjut. Inilah yang disebut menggali informasi lebih dalam atau probing, sehingga diperoleh jawaban yang labih khusus dan tepat.
Apabila jawaban responden kurang meyakinkan, maka perlu ditanyakan keterangan lebih lanjut, dan kalimat yang disampaikan pun harus bersifat netral.
Probing ini termasuk salah satu bagian yang paling sulit dalam wawancara. Pengawas sebaiknya teliti dalam menilai jawaban-jawaban hasil probing. Sangat baik dianjurkan kepada pewawancara agar selalu menuliskan kalimat pertanyaan probing, di samping jawaban responden. Dengan demikian pengawas dapat mengetahui apakah cara bertanya sudah benar, tidak tendensius. (Masri Singarimbun, 1989)
Wawancara mendalam merupakan wawancara pribadi, langsung, dan tidak terstruktur dengan seorang subjek yang diselidiki oelh pewawancara yang sangat terampil untuk menemukan latar belakang motivasi, kayakinan, sikap, dan perasaan subjek terhadap satu topik. Wawancara ini biasanya berlangsung antara 30menit sampai dengan lebih dari satu jam.
Wawancara mendalam sering digunakan untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi, yang sulit untuk diungkap dengan metode atau teknik pengukuran lainnya. Untuk itu, pewawancaranya harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk mengungkapnya. Selain masalah pewawancara, penentuan xubjek yang akan diwawancara seringkali juga menjadi masalah. Wawancara ini biasanya digunakan pada penelitian eksploratif. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Wawancara mendalam adalah suatu bentuk yang khusus dari komunikasi oral dan berhadapan muka dalam suatu hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Keefektifannya bisa dinilai dalam hal tujuan wawancara, teknik-teknik yang digunakan, kerangka waktunya, sudut pandang orang yang melakukan evaluasi, dan reliabilitas dan validitas informasi yang diperoleh.
Aspek-aspek wawancara mendalam yang dapat direncanakan adalah tujuan-tujuan, pertanyaan-pertanyaan, setting, dan reaksi terhadap permasalahan-permasalahan khusus. Perencanaan semacam itu bisa memberikan kesiapan bagi si pewawancara untuk semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul dalam proses wawancara. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
Wawancara-wawancara mendalam terjadi karena suatu tujuan, dan memfokuskan pada jenis-jenis informasi tertentu. Salah satu karakteristik dari pewawancara yang baik adalah kemampuan untuk mengendalikan interaksi sehingga tujuan wawancara tercapai. Hal ini berarti bahwa tidak semua komentar atau respon relevan. Oleh karenanya, anda mungkin perlu menetapkan batasan-batasan mengenai jenis respon yang tepat.
Karena feedback adalah dimensi wawancara mendalam yang penting, pewawancara perlu melakukan upaya yang sangat penuh kesadaran dan terencana untuk mendapatkan feedback apabila tidak diberikan secara sukarela. Saran-saran berikut adalah teknik-teknik yang sangat bermanfaat guna menghasilkan feedback: (1) meminta feedback; (2) mendengarkan ketika diberikan; (3) melatih orang-orang agar merasa anda mau menerima feedback; dan (4) mempertahankan suasana yang memungkinkan adanya feedback.
Semua wawancara mendalam tersusun atas dua dimensi penting yang bisa dianalisa keefektifannya: kandungan isi dan hubungan. Yang cenderung akan lebih difokuskan adalah isi. Hendaknya melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi atau untuk memberikan informasi. Akan tetapi, menganggap bahwa hubungan antar pewawancara dan orang yang diwawancarai sama pentingnya dalam kebanyakan situasi. Bahkan, sifat-dasar hubungan tersebut bisa menentukan apakah informasi tertentu telah disampaikan selama wawancara atau tidak. (Dr. Nurul Murtadho, 1992).
H. Sumber Kekeliruan Pelaporan Hasil Wawancara
Perolehan data dengan memanfaatkan manusia, memiliki beberapa kelemahan sehingga hasil pengukuran yang diperoleh mengandung kekeliruan. Pada konteks wawancara ada beberapa hal yang menjadi sumber kekeliruan pengukurannya, baik dari pewawancara maupun dari orang yang diwawancarai, yaitu:
ingatan
hal yang seharusnya dilaporkan dilewatkan saja dan todak dilaporkan
melebih-lebihkan atau telah meramu jawabannya
mengganti hal yang tidak dapat diingat
tidak mampu mereproduksi kejadian menurut waktu atau hubungan antarfakta seperti apa adanya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Apabila responden menjawab ”tidak tahu”, maka pewawancara perlu berhati-hati. Sebaiknya pewawancara tidak lekas-lekas meninggalkan pertanyaan itu dan pindah ke pertanyaan lain. Jawaban ”tidak tahu” perlu mendapat perhatian, sebab jawaban itu dapat mengandung bermacam-macam arti, diantaranya:
a. responden tidak begitu mengerti pertanyaan pewawancara, sehingga untuk menghindari menjawab ”tidak mengerti” maka menjawab ”tidak tahu”
b. responden sebenarnya sedang berpikir, tapi karena merasa kurang tentram kalau membiarkan pewawancara menunggu lama, maka dia menjawab ”tidak tahu”
c. sering karena responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena dianggap terlalu pribadi, maka dia menjawab ”tidak tahu”. Dapat juga terjadi karena responden ragu-ragu atau takut mengutarakan pendapatnya responden memang benar-benar tidak tahu. Tentu saja itu mencerminkan jawaban sebenarnya. Namun, adalah tugas pewawancara untuk mengamati responden dengan cermat. Benarkah responden tidak tahu, atau adakah hal-hal lain di balik pikirannya. Dapat pula pewawancara mengulang pertanyaan sekali lagi atau menambah pertanyaan agar lebih yakin akan jawaban responden. (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989)
Sebagai contoh, Herbert Hyman melaporkan sejumlah penelitian yang mempertanyakan reliabilitas data. Dalam sebuah penelitian, pewawancara kulit hitam dan kulit putih mensurvey sebuah sampel orang-orang kulit hitam dan mendapatkan informasi yang berbeda. Si pewawancara berkulit hitam melaporkan lebih banyak kebencian mengenai diskriminasi dibandingkan si peneliti yang berkulit putih. Kenapa bisa? Kita tidak tahu pasti. Apakah orang-orang kulit hitam tersebut dengan sengaja menahan informasi, atau apakah orang secara perseptual telah dibutakan atau bias? Kita tidak tahu. Akan tetapi, fakta bahwa kedua kelompok tersebut berbeda membuat kita mempertanyakan reliabilitas data. Ada banyak penelitian seperti milik Hyman. Demikian pula, ketika dua orang petugas perekrutan memiliki penilaian yang jauh berbeda mengenai seorang kandidat yang sama, maka reliabilitasnya rendah. Karena jawaban-jawaban interviewee tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Salah satu penyebab terbesar dari permasalahan-permasalahan komunikasi adalah bahwa kita menganggap bahwa orang-orang sama seperti diri kita sendiri dan bukannya menyesuaikan diri dengan fakta bahwa mereka mungkin berbeda dalam beberapa hal. Kadangkala harapan untuk mendapatkan feedback tidak pernah diartikulasikan, dan orang-orangpun tidak memberikannya. Sebagai contoh, dulu ada seorang interviewee yang mendengarkan beberapa instruksi dari seorang interviewer. Komentarnya cuma, “Ya, pak”. Inilah salah satu penyebab sumber kekeliruan pelaporan hasil wawancara.
I. Keunggulan dan Kelemahan Wawancara
Kebaikan metode wawancara terletak pada keluwesannya. Artinya, wawancara dapat dengan mudah disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada saat wawancara berlangsung. Selain itu, melalui wawancara dapat juga diungkap hal-hal yang tersembunyi yang mungkin tidak dapat diungkap dengan metode lain, asalkan pewawancaranya memiliki ketrampilan yang dibutuhkan.
Kelemahan metode wawancara adalah dari segi banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dibutuhkan. Selain itu, pewawancara yang memiliki ketrampilan yang tinggi tidak mudah diperoleh, selain mahal, juga sulit atau lama untuk melatihnya (Lerbin R. Aritonang, 2007).
Beberapa keuntungan metode wawancara ditinjau dari segi operasional pekerjaan lapangan atau field work (Joseph R. Tarigan, 1995), antara lain:
a. mengumpulkan data melalui wawancara perorangan biasanya persentase hasil yang diperoleh lebih tinggi karena hampir semua orang dapat diajak bekerja sama
b. keterangan yang diperoleh melalui metode ini lebih dijamin kebenarannya daripada metode lain, karena petugas pencacah dapat menerangkan daftar/kuisioner tersebut kepada responden sehingga responden memberikan jawaban yang teliti. Apabila responden dengan sengaja memalsukan jawabannya, petugas pencacah akan mencoba menyadarkannya dengan menggunakan pendekatan khusus untuk mendapatkan jawaban yang betul
c. petugas pencacah dapat mengumpulkan keterangan yang lengkap tentang karakteristik pribadi responden dan sekitarnya dapat menasirkan dan mengevaluasi hasil-hasil yang mewakili dari unit survey
d. dengan mempertunjukkan secara visual, responden dapat menangkap dan mengerti apa yang dimaksud
e. kunjungan ulang (re-visit) untuk melengkapi keterangan yang kurang pada daftar (kuisioner) atau membetulkan kasalahan-kasalahan, biasanya dapat dilakukan tanpa mengecewakan responden
f. petugas pencacah mungkin berhasil mendapatkan jawaban yang lebih spontan daripada kalau kuisioner tersebut dikirim lewat pos atau ditinggalkan untuk diisi oleh responden
Walaupun metode wawancara memiliki berbagai keuntungan dalam pelaksanaan lapangan, tetapi metode ini tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain:
a. pengaruh pribadi petugas pencacah dalam pelaksanaan wawancara dapat menghambat jawaban responden. Contohnya: apabila pencacah menunjukkan sikap tertentu (memaksakan pendapat), maka tanpa disadarinya akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan konfirmasi atau menguatkan pandangannya sendiri. Bagi petugas pencacah yang memiliki sikap wawancara seperti ini, dianjurkan untuk menanyakan pertanyaan sesuai dengan kata-kata yang terdapat dalam kuisioner.
b. Jika pencacah kenal dengan responden, maka mungkin responden akan keberatan untuk memberikan keterangan-keterangan yang bersifat pribadi. Responden mungkin menganggap hal ini sebagai mencampuri urusan pribadi dan menghilangkan sifat rahasia survey ini.
Beberapa keuntungan melaksanakan pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara adalah (Suparmoko, 1992):
a. pelaksanaan wawancara mungkin memakan waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan responden menjadi lebih mengerti akan topik yang ditanyakan, sehingga hubungannya dengan materi yang relevan lebih memungkinkan.
b. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sangat sensitif untuk responden dapat ditanyakan secara taktis oleh petugas pencacah sehingga tidak menyinggung perasaan responden. Dengan melihat reaksi responden, petugas pencacah dapat mengalihkan permasalahan kalau perlu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai persoalan survey ataupun komentar-komentar lain unuk memancing responden memberikan jawaban. Dengan kata lain, situasi yang agak rumit biasanya dapat diatasi lebih baik dan efektif dengan persoalan metode wawancara dibandingkan dengan metode lain.
c. Bahasa survey dapat disesuaikan dengan kemampuan atau tingkat pendidikan responden. Oleh karena itu lebih mudah untuk emnghindarkan salah pengertian atau salah pengarahan dari pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa dalam survey tertentu adalah penting untuk petugas pencacah supaya tidak merubah kata-kata atau urutan pertanyaan yang ada, supaya mendapatkan jawaban yang bisa dipercaya. Dalam hal ini kepada petugas pencacah akan diberitahu selama mereka mengikuti latihan.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada penggunaan metode wawancara antara lain:
a. jika responden yang akan dikunjungi menyebar di daerah yang sangat luas, maka biaya perjalanan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi responden tidak sedikit. Hal ini mungkin membuat penggunaan metode wawancara menjadi tidak ekonomis dan tidak efisien.
b. Dalam memilih, melatih, dan membimbing petugas pencacah lapangan diperlukan suatu organisasi, sehingga dalam pelaksanaannya lebih rumit dibandingkan dengan metode lain.
c. Kesempatan dan waktu wawancara dengan responden terbatas artinya mungkin hanya dapat dilakukan malam hari saja atau hanya satu atau dua jam saja pada sore hari, sehingga membutuhkan banyak petugas agar waktu yang ditentukan dapat dicapai.
Langganan:
Postingan (Atom)